JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan disiram air keras oleh dua pria yang mengendarai sepeda motor, pada 11 April 2017. Lebih dari dua tahun berlalu, kasusnya tak kunjung menemukan titik terang.
Sekitar awal Januari 2019, menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian membentuk tim gabungan untuk mengusut kasus itu.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan telah menyelesaikan masa kerjanya dan mengungkapkan hasilnya kepada publik, dalam sebuah konferensi pers di Mabes Polri, Rabu (17/7/2019).
Dalam laporan tersebut, tim mengungkapkan beberapa penyebab penyerangan terhadap Novel. Berikut rangkumannya:
Juru Bicara TGPF Kasus Novel Baswedan, Nur Kholis mengungkapkan bahwa serangan terhadap Novel terjadi bukan karena motif pribadi.
Baca juga: TGPF Sebut Novel Diserang karena Pekerjaannya sebagai Penyidik KPK
Menurut TGPF Novel Baswedan, serangan dilakukan terhadap Novel karena statusnya sebagai penyidik KPK.
"Dari pola penyerangan dan keterangan saksi korban, serangan itu tidak terkait masalah pribadi, tetapi lebih diyakini berhubungan dengan pekerjaan korban," ucap Nurkholis saat membacakan hasil investigasi tim.
TGPF menduga bahwa penyerangan yang dialami Novel diduga akibat penggunaan kekuasaan yang berlebihan atau excessive use of power oleh Novel saat menjalankan tugas.
Anggota TGPF, Hendardi, mengatakan bahwa hal itu diduga memicu pihak yang sakit hati terhadap Novel dan melakukan serangan terhadap penyidik KPK tersebut.
"Itu dari pihak Novel, artinya Novel dan petugas KPK sering kali, di dalam pemeriksaan kami terhadap beberapa saksi, menunjukkan penggunaan kekerasan yang berlebihan," ujar Hendardi.
Baca juga: TGPF Duga, Novel Diserang karena Penggunaan Kekuasaan yang Berlebihan
"Yang mengakibatkan, makanya kami konklusinya adalah ini merupakan hal yang bisa menyebabkan orang sakit hati, atau dengan sakit hati, sehingga dia melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran atau juga untuk membalas sakit hatinya itu," kata dia lagi.
Menurut dia, indikasi penggunaan kekuasaan secara berlebihan tersebut ditemukan pada saat pemeriksaan maupun operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal mengungkapkan, pelaku penyerangan diduga sakit hati terhadap Novel terkait kasus yang ditanganinya.
Baca juga: Pelaku Penyerang Novel Diduga Sakit Hati karena Dipermalukan
"Kami juga berkonsultasi dengan psikolog bahwa diduga ini ada kaitannya dugaan pelaku sakit hati. Karena memang pelaku kami duga disakiti hatinya, dipermalukan oleh Novel," ujar Iqbal dalam konferensi pers yang sama.
Menurut TGPF, terdapat enam kasus high profile dalam penanganan Novel yang diduga bisa menimbulkan serangan balik.
"TGPF meyakini kasus-kasus tersebut berpotensi menimbulkan serangan balik atau balas dendam karena adanya dugaan kewenangan secara berlebihan atau excessive use of power," kata Nur Kholis.
Baca juga: TGPF: 6 Kasus High Profile yang Ditangani Novel Berpotensi Timbulkan Balas Dendam
Kasus "high profile" itu terdiri dari kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP); kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar; kasus Mantan Sekjen MA, Nurhadi; kasus korupsi mantan Bupati Buol, Amran Batalipu; dan kasus korupsi Wisma Atlet.
Sementara itu, satu kasus lainnya tidak ditangani Novel sebagai penyidik KPK tetapi tidak menutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan penyerangan terhadap Novel.
Kasus yang dimaksud yakni penembakan pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.
Novel ditetapkan sebagai tersangka dugaan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat ia masih bertugas di Polri.
Sementara itu, Tim kuasa hukum penyidik KPK Novel Baswedan menilai, Polri melempar tanggung jawab soal pengungkapan kasus kliennya.
Anggota kuasa hukum Novel, Puri Kencana Putri menjelaskan, hal itu terlihat karena Polri menyebutkan enam kasus high profile yang pernah ditangani Novel sebelumnya sehingga memunculkan balas dendam atau serangan balik terhadap diri Novel sendiri.
Baca juga: Tak Puas dengan TGPF, Pihak Novel Minta Jokowi Bentuk TGPF Independen
"Ada upaya melempar tanggung jawab kepada korban agar mempertanggungjawabkan tuduhan-tuduhanya yang sudah diberikan ke Polri. Lempar tanggung jawab itu terlihat karena Novel dianggap melakukan kewenangan yang berlebihan soal enam kasus yang disebut Polri," ujar Puri.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengaku sulit memahami terkait pernyataan TGPF soal penggunaan kekuasaan berlebihan. Menurut dia, penyidik selalu menggunakan kewenangan sesuai prosedur.
Baca juga: KPK: Fokus Saja Temukan Pelaku, Jangan Cari Alasan
"KPK kurang memahami konteks penggunaan istilah excessive use of power oleh TGPF. Namun, kami tegaskan dalam melaksanakan tugasnya, penyidik menggunakan wewenang sesuai hukum acara yang berlaku," ujar Laode.
Laode pun menuturkan, tak ada perkembangan signifikan dari apa yang dipublikasi TGPF. Padahal, KPK berharap tim bisa mengungkap pelaku.