JAKARTA, KOMPAS.com – Public Virtue Research Institute (PVRI) mendesak Badan Kepegawaian Negara (BKN) Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pemberhentian 51 pegawai lembaga itu.
Deputi Direktur PVRI Anita Wahid juga meminta Badan Kepegawaian Negara (BKN) transparan terkait TWK.
“Kami juga mendesak BKN agar membuka dokumen TWK. Presiden juga harus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak pegawai KPK dalam proses TWK,” sebut Anita dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (20/6/2021).
Anita menilai pemberhentian 51 pegawai KPK itu merupakan gejala regresi demokrasi yang terjadi saat ini.
Baca juga: Soal Siapa Penggagas Ide TWK, Ini Penjelasan Nurul Ghufron
“Pemberhentian pegawai KPK merupakan gejala regresi demokrasi yang menumpulkan institusi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibatnya kekuasaan pusat maupun daerah semakin sulit dikontrol. Kami desak Presiden Jokowi untuk membatalkan keputusan tersebut,” terang dia.
Pada keterangan yang sama peneliti PVRI Naufal Rofi mencatat pihak kepolisian selama ini menunjukan sikap bungkam pada serangan maupun teror yang dihadapi sejumlah pegawai KPk dan aktivis anti korupsi.
Dalam catatan PVRI sejak tahun 2015 hingga 2019 ada delapan kasus kekerasan dan ancaman yang dialami pegawai KPK yang tidak didalami Polri.
Baca juga: Mengaku Tak Tahu soal Proses TWK, Komisioner KPK Nurul Ghufron Dinilai Cuci Tangan
“PVRI mencatat sejak 2015 smpai 2019 terdapat delapan kasus kekerasan dan ancaman yang dialami pegawai KPK. Mulai dari ancaman pembunuhan, penangkapan, pencurian, ancaman bom, serangan fisik sampai percobaan penculikan. Baru-baru ini ancaman terjadi melalui peretasan hingga doxing,” ungkap Naufal.
Diketahui 75 pegawai KPK dinyatakan tak lolos dalam asesmen TWK sebagai syarat alih status kepegawaiannya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Setelah Presiden Joko Widodo meminta agar hasil tersebut tidak digunakan sebagai dasar pemberhentian pegawai, KPK dan BKN bersama sejumlah lembaga lain yang terkait dengan pelaksanaan tes tersebut melakukan rapat koordinasi.
Rapat tersebut menghasilkan keputusan untuk memberi kesempatan pada 24 pegawai KPK dapat menjadi ASN setelah melewati pendidikan wawasan kebangsaan. Sementara 51 sisanya tetap dinyatakan tidak lolos karena dianggap memiliki rapot merah.
Baca juga: Cerita Novel Baswedan Sudah Ingin Mundur dari KPK Sejak 2019
Konsekuensi dari 51 pegawai yang tetap dinyatakan tak lolos itu adalah tidak dapat menjadi ASN, dan tidak bisa lagi bergabung menjadi pegawai KPK.
Beberapa diantara mereka yang tak lolos adalah penyidik yang dikenal terbiasa terlibat dalam pengungkapan korupsi kelas kakap seperti Novel Baswedan, dan Andre Nainggolan.
Penyelidik yang dikenal dengan sebutan ‘raja OTT’ Harun Al Rashid juga disebut tak lolos dalam tes tersebut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.