Ia pun membuka pintu bagi masyarakat yang ingin berdiskusi, berkoordinasi, dan bersilaturahmi terkait kasus ini.
"Kita sudah berubah sesuai keputusan politik pemerintah. Kita sudah berubah, berubah, dan berubah. Kalau enggak percaya, ya ayo, datango ke TNI, kami pun juga tidak tertutup untuk itu," kata Yudo.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa penanganan kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sesuai dengan UU Peradilan Militer.
Kasus ini melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto yang berstatus anggota TNI aktif.
"Karena kita yang masih berlaku Undang-Undang 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, ya kita laksanakan seperti itu," kata Yudo.
Baca juga: Bantah Impunitas di Peradilan Militer, Panglima TNI: Kalau Ragu, Ayo Sama-sama Lihat Penyidikannya
Ia juga menjamin, proses hukum secara peradilan militer tidak akan memberikan impunitas kepada anggota-anggota TNI yang terlibat kasus pidana, termasuk Mardya Henri dan Letkol Afri.
"Saya lihat dari pembicaraan selama ini seolah-olah TNI kalau salah masuk peradilan militer ada impunitas, tidak ada, tunjukan mana impunitas yang diterima oleh prajurit TNI," kata Yudo.
Wacana merevisi UU Peradilan Militer timbul setelah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Masdya Henri dan Letkol Afri diambil alih oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dan akan diproses secara peradilan militer.
Padahal, sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih dulu mengumumkan Henri dan Afri sebagai tersangka, yang kemudian dipertanyakan oleh TNI karena dianggap melanggar UU Peradilan Militer.
UU Peradilan Militer selama ini selalu menjadi pembenaran agar prajurit aktif yang melakukan tindak pidana, walaupun dalam kapasitasnya sebagai jabatan sipil, hanya dapat dibawa ke peradilan militer dan kebal peradilan umum.
Baca juga: KPK Ingin Dugaan Suap Kabasarnas Ditangani secara Koneksitas
UU Peradilan Militer mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer.
"UU Peradilan Militer harus direvisi. Ikut UU TNI saja. Kalau tindak pidananya umum, ya jangan ke peradilan militer," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti saat ditemui Kompas.com di bilangan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Bivitri menyampaikan, keberadaan peradilan militer yang bisa menjatuhkan sanksi atas prajurit yang melakukan tindak pidana umum sebetulnya merupakan anomali dan tak dikenal di dunia.
"Itu diterbitkan 1997. Dari tahunnya kita bisa membaca, tahun segitu undang-undang Itu dilahirkan untuk melindungi jenderal-jenderal (yang diduga terlibat tindak pidana)," kata dia.
"Di luar negeri enggak ada (peradilan militer) sebagai peradilan. Ada military tribunal, tapi itu hanya untuk pelanggaran disiplin militer. Kalau yang dilanggar pidana sipil, ya semua orang kan sama di hadapan hukum, harusnya tidak boleh ada pembedaan," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.
Baca juga: Kasus Eks Kabasarnas, Kewenangan KPK Dinilai Perlu Diperluas