JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 agaknya mendapat respons positif dari pemerintah maupun TNI.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyatakan, undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru itu memang perlu disempurnakan agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
"Saya kira Undang-Undang (Nomor) 31 itu juga saya akan mengalami hal yang sama, ada hal-hal yang memang perlu disempurnakan (agar) lebih sesuai dengan tuntutan keadaan," kata Ma'ruf dalam keterangan pers di Samarinda, Jumat (4/8/2023).
Baca juga: Wapres Sebut UU Peradilan Militer Perlu Disempurnakan agar Sesuai Zaman
Ma'ruf menuturkan, revisi merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah undang-undang yang sudah berlaku sejak lama.
Oleh karena itu, ia mempersilakan wacana revisi UU Peradilan terus bergulir dan dapat segera dibahas.
"Saya kira kita silakan terus berjalan (wacana revisi UU Peradilan Militer) dan sesuai dengan aspirasi yang muncul dan tentu ingin undang-undang itu kan lebih baik merespons tuntutan keadaan yang terjadi," kata Ma'ruf.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya juga berpandangan bahwa revisi UU Peradilan Militer memang perlu dibahas.
"Saya sependapat bahwa itu perlu segera dibahas," kata Mahfud di Kediaman Resmi Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Baca juga: Panglima TNI Terbuka jika UU Peradilan Militer Direvisi
Mahfud memastikan bahwa pemerintah mencatat aspirasi tersebut untuk dipertimbangkan.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, revisi UU Peradilan Militer sesungguhnya sudah masuk dalam program legislasi nasional jangka panjang.
"Nanti-lah kita bisa bicarakan kapan prioritas dimasukkan," ujar Mahfud.
Dalam kesempatan terpisah, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono juga menyatakan bahwa pihaknya terbuka atas wacana revisi UU TNI.
Ia menegaskan, TNI akan tunduk dengan apa pun keputusan politik pemerintah terkait wacana itu.
"Kalau mau diubah dan sebagainya, kita tunduk pada keputusan politik negara. Kita kan melaksanakan ini, ini adalah keputusan politik negara, ya kita laksanakan," kata Yudo di Markas Besar TNI, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bantah Impunitas di Peradilan Militer, Panglima TNI: Kalau Ragu, Ayo Sama-sama Lihat Penyidikannya
Yudo menyatakan, TNI saat ini sudah jauh lebih terbuka meski masih menggunakan beberapa produk hukum era Orde Baru, termasuk UU Peradilan Militer.
Ia pun membuka pintu bagi masyarakat yang ingin berdiskusi, berkoordinasi, dan bersilaturahmi terkait kasus ini.
"Kita sudah berubah sesuai keputusan politik pemerintah. Kita sudah berubah, berubah, dan berubah. Kalau enggak percaya, ya ayo, datango ke TNI, kami pun juga tidak tertutup untuk itu," kata Yudo.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa penanganan kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sesuai dengan UU Peradilan Militer.
Kasus ini melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto yang berstatus anggota TNI aktif.
"Karena kita yang masih berlaku Undang-Undang 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, ya kita laksanakan seperti itu," kata Yudo.
Baca juga: Bantah Impunitas di Peradilan Militer, Panglima TNI: Kalau Ragu, Ayo Sama-sama Lihat Penyidikannya
Ia juga menjamin, proses hukum secara peradilan militer tidak akan memberikan impunitas kepada anggota-anggota TNI yang terlibat kasus pidana, termasuk Mardya Henri dan Letkol Afri.
"Saya lihat dari pembicaraan selama ini seolah-olah TNI kalau salah masuk peradilan militer ada impunitas, tidak ada, tunjukan mana impunitas yang diterima oleh prajurit TNI," kata Yudo.
Wacana merevisi UU Peradilan Militer timbul setelah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Masdya Henri dan Letkol Afri diambil alih oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dan akan diproses secara peradilan militer.
Padahal, sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih dulu mengumumkan Henri dan Afri sebagai tersangka, yang kemudian dipertanyakan oleh TNI karena dianggap melanggar UU Peradilan Militer.
UU Peradilan Militer selama ini selalu menjadi pembenaran agar prajurit aktif yang melakukan tindak pidana, walaupun dalam kapasitasnya sebagai jabatan sipil, hanya dapat dibawa ke peradilan militer dan kebal peradilan umum.
Baca juga: KPK Ingin Dugaan Suap Kabasarnas Ditangani secara Koneksitas
UU Peradilan Militer mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer.
"UU Peradilan Militer harus direvisi. Ikut UU TNI saja. Kalau tindak pidananya umum, ya jangan ke peradilan militer," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti saat ditemui Kompas.com di bilangan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Bivitri menyampaikan, keberadaan peradilan militer yang bisa menjatuhkan sanksi atas prajurit yang melakukan tindak pidana umum sebetulnya merupakan anomali dan tak dikenal di dunia.
"Itu diterbitkan 1997. Dari tahunnya kita bisa membaca, tahun segitu undang-undang Itu dilahirkan untuk melindungi jenderal-jenderal (yang diduga terlibat tindak pidana)," kata dia.
"Di luar negeri enggak ada (peradilan militer) sebagai peradilan. Ada military tribunal, tapi itu hanya untuk pelanggaran disiplin militer. Kalau yang dilanggar pidana sipil, ya semua orang kan sama di hadapan hukum, harusnya tidak boleh ada pembedaan," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.
Baca juga: Kasus Eks Kabasarnas, Kewenangan KPK Dinilai Perlu Diperluas
Masalahnya, karena UU Peradilan Militer ini, beberapa pelaku korupsi dari unsur TNI yang kasusnya diusut KPK diproses hukum oleh Puspom TNI.
Kasus ini beberapa kali terjadi dalam perkara korupsi yang ditangani KPK, seperti kasus pengadaan helikopter AW-101 dan kasus suap Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Akuntabilitas dan transparansinya dipertanyakan. Pada kasus Bakamla, Laksma Bambang Udoyo selaku prajurit yang terlibat korupsi hanya divonis 4,5 tahun penjara.
Pada kasus pengadaan helikopter, pengusutan atas keterlibatan para prajurit aktif malah dihentikan Puspom TNI karena diklaim tak cukup alat bukti.
Bivitri menyampaikan, kerangka hukum yang ada sudah jelas mengatur bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana nonmiliter tidak seharusnya dibawa ke peradilan militer.
Artinya, yang menjadi fokus adalah tindak pidananya, bukan subyeknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.