JAKARTA, KOMPAS.com - Panglima TNI Laksamana Yudo Margono terbuka atas wacana merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Yudo menyatakan, TNI akan tunduk dengan apapun keputusan politik pemerintah terkait wacana tersebut.
"Kalau mau diubah dan sebagainya, kita tunduk pada keputusan politik negara. Kita kan melaksanakan ini, ini adalah keputusan politik negara, ya kita laksanakan," kata Yudo di Markas Besar TNI, Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Baca juga: Bantah Impunitas di Peradilan Militer, Panglima TNI: Kalau Ragu, Ayo Sama-sama Lihat Penyidikannya
Yudo menyatakan, TNI saat ini sudah jauh lebih terbuka meski masih menggunakan beberapa produk hukum era Orde Baru, termasuk UU Peradilan Militer.
Ia pun membuka pintu bagi masyarakat yang ingin berdiskusi, berkoordinasi, dan bersilaturahmi terkait kasus ini.
"Kita sudah berubah sesuai keputusan politik pemerintah. Kita sudah berubah, berubah, dan berubah. Kalau nggak percaya, ya ayo, datango ke TNI, kami pun juga tidak tertutup untuk itu," kata Yudo.
Baca juga: Panglima TNI Bantah Ada Impunitas jika Anggota TNI Diproses di Peradilan Militer
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa penanganan kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sesuai dengan UU Peradilan Militer.
Pasalnya, kasus ini melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto yang berstatus anggota TNI aktif.
"Karena kita yang masih berlaku Undang-Undang 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, ya kita laksanakan seperti itu," kata Yudo.
UU Peradilan Militer selama ini selalu menjadi pembenaran agar prajurit aktif yang melakukan tindak pidana, walaupun dalam kapasitasnya sebagai jabatan sipil, hanya dapat dibawa ke peradilan militer dan kebal peradilan umum.
Baca juga: Ingin Kepala Basarnas Diadili di Peradilan Militer, TNI Janji Tak Tutup-tutupi
UU Peradilan Militer mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer.
"UU Peradilan Militer harus direvisi. Ikut UU TNI saja. Kalau tindak pidananya umum, ya jangan ke peradilan militer," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti saat ditemui Kompas.com di bilangan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Bivitri menyampaikan, keberadaan peradilan militer yang bisa menjatuhkan sanksi atas prajurit yang melakukan tindak pidana umum sebetulnya merupakan anomali dan tak dikenal di dunia.
"Itu diterbitkan 1997. Dari tahunnya kita bisa membaca, tahun segitu undang-undang Itu dilahirkan untuk melindungi jenderal-jenderal (yang diduga terlibat tindak pidana)," kata dia.
Baca juga: TNI Bersikeras Dugaan Suap Kepala Basarnas Diadili di Peradilan Militer, Ini Alasannya
"Di luar negeri enggak ada (peradilan militer) sebagai peradilan. Ada military tribunal, tapi itu hanya untuk pelanggaran disiplin militer. Kalau yang dilanggar pidana sipil, ya semua orang kan sama di hadapan hukum, harusnya tidak boleh ada pembedaan," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.