JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti proses rekrutmen hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) pada Mahkamah Agung (MA).
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, pihaknya turut mengikuti tahapan proses seleksi wawancara terbuka yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) pada Kamis (2/2/2023) kemarin.
Rekrutmen ini dilakukan tidak terlepas dari perkara Pelanggaran HAM Berat Paniai yang terdakwanya divonis bebas. Perkara tersebut akan disidangkan di tingkat kasasi.
Menurut Fatia, KontraS menemukan sejumlah fakta bahwa tidak sedikit dari para calon hakim yang tidak memahami betul mengenai pengadilan HAM.
Beberapa dari mereka bahkan belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran HAM yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pelanggaran HAM Berat yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.
“Salah seorang calon juga tidak bisa menjelaskan dengan baik unsur utama kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu ‘meluas’ dan ‘sistematis’,” kata Fatia dalam keterangannya, Senin (6/2/2023).
KontraS juga mendapati calon hakim yang kebingungan ketika ditanya mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM Berat.
Calon hakim itu mengaku belum membaca aturan mengenai dua hal tersebut.
Sementara itu, calon hakim berikutnya tidak bisa membedakan mekanisme penyelesaian Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial.
Ia mengaku belum memahami tanggung jawab komando.
“Minimnya pengetahuan tersebut tentu saja berbahaya bagi Pengadilan HAM mengingat para calon jika terpilih akan diberi tugas mengadili kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai pada tingkat Kasasi.
Tidak hanya itu, KontraS bahkan menemukan calon hakim ad hoc HAM yang justru mendukung Pelanggaran HAM Berat diselesaikan secara non-yudisial.
Baca juga: Seleksi Hakim Agung, KY Mengaku Hati-hati Telusuri Rekam Jejak Calon
Pandangan ini dinilai mengesampingkan proses pencarian dan akses korban terhadap kebenaran dalam Pelanggaran HAM Berat.
Fatia juga menyebut salah seorang hakim tidak memiliki pengetahuan mendasar mengenai HAM.
Misalnya, salah seorang hakim mengaku belum pernah mendengar Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).