Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/05/2021, 09:35 WIB
Sania Mashabi,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak tiga permohonan uji materi dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Adapun, perkara pertama yang ditolak adalah permohonan uji formil yang diajukan oleh eks pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021).

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar Usman.

Baca juga: MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK yang Diajukan Eks Pimpinan KPK

Tolak tiga perkara

Penolakan MK didasarkan beberapa pertimbangan majelis hakim konstitusi dari berbagai dalil permohonan yang diajukan pemohon.

Antara lain, mengenai UU KPK yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Polegnas) DPR. Mahkamah menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, RUU KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama, terkait lama atau tidaknya pembahasan tergantung pada UU itu sendiri.

"Terutama untuk mengharmonisasi antara RUU yang satu dengan yang lain sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasi undang-undang," kata Arief.

Mahkamah juga membantah pernyataan terkait dalil tidak dilibatkannya aspirasi masyarakat dalam penyusunan UU KPK hasil revisi.

Baca juga: Ini Pertimbangan MK Tolak Uji Formil UU KPK yang Diajukan Eks Pimpinan KPK

Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan pembuat UU, yakni DPR, sudah melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait termasuk pimpinan KPK dalam pembahasan RUU.

Mahkamah, lanjut Saldi, juga sudah melihat bahwa pimpinan KPK sudah diajak untuk terlibat dalam pembahasan.

"Menemukan fakta bahwa beberapa kali KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi Undang-Undang KPK hal demikian berarti bukanlah pembentuk undang-undang, DPR dan presiden yang tidak mau melibatkan KPK, tetapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi Undang-Undang KPK," ujar Saldi.

Sementara terkait dengan adanya berbagai macam penolakan dari kalangan masyarakat terkait pengesahan RUU KPK, Mahkamah menilai itu sebagai bagian kebebasan menyatakan pendapat karena kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menolak tetapi juga yang mendukung.

Baca juga: Kecewa Uji Formil UU KPK Ditolak MK, Azyumardi Azra: KPK Akan Kehilangan Kredibilitas

Ilustrasi persidangan di Mahkamah Konstitusi. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga Ilustrasi persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Saldi melanjutkan, terkait dalil naskah akademik fiktif juga dinilai Mahkamah tidak beralasan menurut hukum.

Begitu pula terkait dalil tidak kuorumnya pengesahan RUU KPK dalam rapat paripurna, yang dinilai Mahkamah tidak beralasan menurut hukum.

"Naskah akademik yang dijadikan bukti oleh para pemohon adalah naskah akademik yang memiliki halaman depan atau cover per-tanggal September 2019 sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti oleh DPR tidak terdapat halaman depan atau kabar dan tidak tercantum tanggal," ucap Saldi Isra.

Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KPK, Satu Hakim Konstitusi Memilih Dissenting Opinion

Sedangkan, terkait Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU KPK hasil revisi, Saldi menjelaskan hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur terjadi pelanggaran formil.

Sebab, meski tidak ditandatangani presiden, UU KPK tetap berlaku dengan sendirinya apabila dalam waktu 30 hari tidak ditandatangani.

Perkara selanjutnya yang ditolak adalah permohonan dari Ricki Martin Sidauruk dan rekannya Gregorianus Agung yang berprofesi sebagai mahasiswa.

Mereka mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 43 Ayat 1 UU KPK terhadap UUD 1945.

Berikutnya, Mahkamah juga menolak permohonan yang diajukan pengacara bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra yang mengajukan permohonan uji formil dan materi UU KPK.

Baca juga: Dissenting Opinion Hakim Wahiduddin: Sulit Tak Simpulkan DIM UU KPK Disiapkan Presiden Kurang dari 24 Jam

Dalam pengujian formil atas ia mempermasalahkan pembentukan UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Sedangkan pada pengujian materi ia mempermasalahkan materi muatan Pasal 11 ayat 1 huruf a sepanjang mengenai frasa "dan/atau" dan Pasal 29 huruf e pada UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

"Dalam pengujian formil menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dalam pengujian materiil menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Anwar.

Tiga perkara tak diterima

Lebih lanjut, MK juga memutuskan tidak menerima tiga permohonan uji materi dan uji formil UU KPK.

Adapun ketiga permohonan itu diajukan oleh Tenaga Ahli DPRD DKI Jakarta Zico Leonard Simanjuntak dengan empat rekannya.

Kemudian perkara yang diajukan aktivis anti korupsi Jovi Andrea Bachtiar dengan empat rekannya dan advokat Sholikah bersama 21 rekan advokatnya.

Baca juga: Sidang UU KPK, MK Putuskan 3 Perkara Ditolak, 3 Lainnya Tak Dapat Diterima

Dalam perkara yang diajukan oleh Zico, Mahkamah menyatakan permohonan pasal berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 37 Ayat 1 huruf b, Pasal 40, Pasal 47 UU KPK tidak dapat diterima.

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Anwar.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.
Lalu pada perkara permohonan yang diajukan oleh Jovi, Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B Ayat 1, Pasal 12B Ayat 2, Pasal 12B Ayat 3, Pasal 12B Ayat 4 pasal 37B Ayat 1 huruf b, Pasal 47 Ayat 1, Pasal 47 Ayat 2, Pasal 69 Ayat 1 dan Pasal 69 Ayat 2 UU KPK juga tidak dapat diterima.

Sedangkan, Sholikah mengajukan permohonan uji formil dan materi. Pada uji materi ia mempermasalahkan Pasal 21 Ayat 1 huruf a yang mengatur adanya Dewan Pengawas KPK yang dinilai berpotensi mengurangi independensi KPK dan akan melemahkan kewenangan KPK.

Pada aspek formil, Sholikah mempermasalahkan mekanisme penyusunan UU KPK yang seharusnya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Baca juga: Dissenting Opinion Hakim Wahiduddin: Sulit Tak Simpulkan DIM UU KPK Disiapkan Presiden Kurang dari 24 Jam

Namun dalam prosesnya MK justru menyatakan baik dari aspek formil dan materi, permohonan Sholikah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum dan dinyatakan tidak dapat diterima atau ada juga yang ditolak.

Diterima sebagian

Namun, MK juga memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materil UU KPK yang diajukan oleh sejumlah akademisi.

Mereka terdiri dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid, Dekan Fakultas Hukum UII Abdul Jamil, Direktur Pusat Studi HAM UII Yogyakarta Eko Riyadi, dan Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII Yogyakarta Ari Wibowo.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021).

Baca juga: Putusan Uji Materi UU KPK: Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan Tak Perlu Izin Dewan Pengawas

MK mengabulkan permohonan uji materil terkait Pasal 12B Ayat 1 UU KPK mengenai izin tertulis Dewan pengawas KPK dalam proses penyadapan.

Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan, kewenangan institusi penegak hukum tidak boleh diintervensi serta tidak boleh ada lembaga yang bersifat ekstra yudisial.

Sebab, intervensi akan menjadi ancaman bagi independensi penegak hukum dan dapat melemahkan prinsip negara hukum.

Menurut Aswanto, ketentuan mengenai izin tertulis Dewan Pengawas untuk melakukan penggeledahan dapat mengesankan bahwa pimpinan KPK merupakan subordinat.

Baca juga: Hakim MK Wahiduddin Adams Sebut DIM dalam Proses UU KPK Tak Sesuai Common Sense

Karenanya, MK menyatakan penyadapan tidak lagi memerlukan izin, namun pimpinan KPK hanya perlu memberitahukan informasi kepada Dewan Pengawas.

"Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan Pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama," kata Aswanto.

Permohonan lainnya yakni mengenai izin terkait penggeledahan dan penyidaan dari Dewan Pengawas. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU KPK.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menuturkan, penggeledahan dan penyitaan oleh KPK merupakan bagian dari tindakan pro justitia.

Sedangkan, Dewan Pengawas tidak termasuk unsur aparat penegak hukum. Dengan demikian, ketentuan izin terkait penggeledahan dan penyitaan dari Dewan Pengawas KPK tidak tepat.

"Frasa 'atas izin tertulis dari Dewan Pengawas' dalam Pasal 47 ayat (1) harus dimaknai menjadi 'dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas'," ucap Enny.

Permohonan lain yang dikabulkan MK yakni uji materil Pasal 1 angka 3 terkait penggunaan huruf kapital dalam frasa 'melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi'.

Pemohon menilai kata 'pencegahan' dan 'pemberantasan' seharusnya diawali huruf kapital. Sebab, penulisan dengan huruf kecil dinilai dapat mereduksi makna pemberantasan korupsi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bareskrim Gagalkan Peredaran 10.000 Butir Ekstasi, 1 Residivis Narkoba Ditangkap

Bareskrim Gagalkan Peredaran 10.000 Butir Ekstasi, 1 Residivis Narkoba Ditangkap

Nasional
Didakwa Kasus Kepemilikan Senpi Ilegal, Dito Mahendra: Ini Masalah yang Dibesar-Besarkan

Didakwa Kasus Kepemilikan Senpi Ilegal, Dito Mahendra: Ini Masalah yang Dibesar-Besarkan

Nasional
2 Menterinya Dipanggil Jokowi, PKB Bantah Diajak Ikut Dukung Prabowo-Gibran

2 Menterinya Dipanggil Jokowi, PKB Bantah Diajak Ikut Dukung Prabowo-Gibran

Nasional
Airlangga Sebut Wacana Jokowi Pimpin Koalisi Besar Belum Pernah Dibicarakan

Airlangga Sebut Wacana Jokowi Pimpin Koalisi Besar Belum Pernah Dibicarakan

Nasional
KPK Panggil Wakil Ketua MPR Jadi Saksi Korupsi APD Covid-19

KPK Panggil Wakil Ketua MPR Jadi Saksi Korupsi APD Covid-19

Nasional
Bea Cukai Pangkalan Bun Gagalkan Penyelundupan 50 Bungkus Rokok Ilegal

Bea Cukai Pangkalan Bun Gagalkan Penyelundupan 50 Bungkus Rokok Ilegal

Nasional
90 Proyek Strategis Nasional Belum Selesai, Jokowi Tambah 14 Proyek Lagi

90 Proyek Strategis Nasional Belum Selesai, Jokowi Tambah 14 Proyek Lagi

Nasional
Pimpinan Baleg Usul Kegiatan DPR Terpusat di Jakarta, tapi Ditolak Pemerintah

Pimpinan Baleg Usul Kegiatan DPR Terpusat di Jakarta, tapi Ditolak Pemerintah

Nasional
KPK Periksa Eks Dirut Garuda Emirsyah Satar dan 9 Terpidana Korupsi Jadi Saksi Dugaan Pungli di Rutan

KPK Periksa Eks Dirut Garuda Emirsyah Satar dan 9 Terpidana Korupsi Jadi Saksi Dugaan Pungli di Rutan

Nasional
Netralitas Jokowi Disorot dalam Sidang PBB, Airlangga: Itu Biasa ...

Netralitas Jokowi Disorot dalam Sidang PBB, Airlangga: Itu Biasa ...

Nasional
Jokowi Dinilai Coba Antisipasi PKB Jadi Motor Hak Angket

Jokowi Dinilai Coba Antisipasi PKB Jadi Motor Hak Angket

Nasional
Persaingan Cucu-Cicit Soekarno di Pileg 2024: 3 Lolos Senayan, 2 Terancam Gagal

Persaingan Cucu-Cicit Soekarno di Pileg 2024: 3 Lolos Senayan, 2 Terancam Gagal

Nasional
Kasasi Ditolak, Eks Dirjen Kuathan Tetap Dihukum 12 Tahun Penjara di Kasus Satelit Kemenhan

Kasasi Ditolak, Eks Dirjen Kuathan Tetap Dihukum 12 Tahun Penjara di Kasus Satelit Kemenhan

Nasional
Praperadilan Budi Said Ditolak, Kejagung: Penyidik Sesuai Prosedur

Praperadilan Budi Said Ditolak, Kejagung: Penyidik Sesuai Prosedur

Nasional
RUU DKJ Sepakat Dibawa ke Sidang Paripurna DPR, Mendagri Ucapkan Terima Kasih

RUU DKJ Sepakat Dibawa ke Sidang Paripurna DPR, Mendagri Ucapkan Terima Kasih

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com