JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang diajukan oleh mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.
MK memberikan sejumlah pertimbangan terkait putusan tersebut. Pertama, terkait dalil pemohon soal tidak masuknya revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Polegnas), MK menilai hal itu tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, RUU KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama. Terkait lama atau tidaknya pembahasan tergantung pada pembahasan UU itu sendiri.
"Terutama untuk mengharmonisasi antara RUU yang satu dengan yang lain sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasi undang-undang," kata Arief, dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021).
Baca juga: MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK yang Diajukan Eks Pimpinan KPK
Terkait dalil tidak dilibatkannya partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU KPK hasil revisi, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan pembuat UU, DPR sudah melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk pimpinan KPK.
Berdasarkan bukti yang diterima MK, Saldi menuturkan, pimpinan KPK sudah diajak untuk terlibat dalam pembahasan. Namun, beberapa kali KPK menolak untuk menghadiri pembahasan revisi UU KPK.
"Hal demikian berarti bukanlah pembentuk undang-undang DPR dan presiden yang tidak mau melibatkan KPK, tetapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi Undang-Undang KPK," ujar Saldi.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KPK, Satu Hakim Konstitusi Memilih Dissenting Opinion
Kemudian terkait aksi unjuk rasa penolakan atas pengesahan revisi UU KPK dari kalangan masyarakat sipil, MK menilai hal itu sebagai bagian kebebasan berpendapat. Unjuk rasa tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menolak, tetapi juga yang mendukung.
Saldi melanjutkan, terkait dalil naskah akademik fiktif juga dinilai mahkamah tidak beralasan menurut hukum.
Begitu pula terkait dalil tidak kuorumnya pengesahan RUU KPK dalam rapat paripurna DPR dinilai tidak beralasan menurut hukum.
"Naskah akademik yang dijadikan bukti oleh para pemohon adalah naskah akademik yang memiliki halaman depan atau cover per-tanggal September 2019 sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti oleh DPR tidak terdapat halaman depan atau kabar dan tidak tercantum tanggal," ungkapnya.
Baca juga: Perjalanan Panjang Menolak Revisi UU KPK: Unjuk Rasa, Janji Perppu, hingga Uji Materi MK
Sedangkan, terkait Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU KPK hasil revisi, Saldi menjelaskan hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur bahwa telah terjadi pelanggaran formil.
Karena meski tidak ditandatangani, UU KPK tetap berlaku dengan sendirinya apabila dalam waktu 30 hari tidak ditandatangani.
"Sekalipun rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan presiden tidak disahkan oleh presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak persetujuan bersama rancangan undang-undang tersebut sudah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan," ucap Saldi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.