Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sayfa Auliya Achidsti
Dosen UNS

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

UU MD3, Menggenggam Kekuasaan ala Orde Baru

Kompas.com - 21/04/2018, 21:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JIKA yang diharapkan adalah checks and balances, itu tidak bisa dilakukan sesederhana sekadar melalui sebuah undang-undang. Logika UU MD3 justru paradoks: penyeimbangan tidak dilakukan dengan pemisahan, melainkan dengan pemusatan kekuasaan.

Dari daftar perundangan yang prosesnya menuai polemik, perubahan UU MD3 termasuk yang paling problematik pasca Reformasi. Ini adalah sebuah gambaran personifikasi kekuasaan yang dibungkus isu pemisahan kekuasaan (separation of power).

Pengalaman yang sudah-sudah, UU Pilkada di era Presiden SBY disahkan namun akhirnya digantikan Perppu Pilkada. RUU Keamanan Nasional, setelah membuat geger, akhirnya dibatalkan di akhir 2012.

Sementara, sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK), ada beberapa yang paling sering ditinjau: UU Pemberantasan Korupsi, UU Ketenagakerjaan, UU Advokat, UU Kejaksaan, UU Kesehatan, dan KUHP.

Pertanyaannya, apakah alasan penguatan martabat legislatif dalam UU MD3 bisa dipertimbangkan sebagai faktor untuk penyetaraan kekuasaan, atau cuma strategi politik pragmatis para elite?

Baca juga : Syukur Dua Pemuda Penggugat UU MD3 Usai Pemerintah-DPR Pecah Kongsi

 

Apalagi isu trauma demokrasi selama Orde Baru diseret-seret dalam perdebatan.


Ekspos rivalitas

Penting membandingkan polemik di atas. UU Pilkada yang “dimentahkan” Perppu saat itu bisa dimaknai sebagai bagian proses mencari format mekanisme demokrasi; apakah pemilihan langsung atau via DPRD. Sedangkan, karena kebutuhan regulasi, judicial review terhadap daftar UU tersebut lebih pada praktik penyempurnaan.

Relasi fungsi eksekutif-legislatif-yudikatif dalam hal seperti itulah sebenarnya checks and balances. Yaitu pada proses saling menguatkan atau meninjau fungsi masing-masing demi kebutuhan publik.

Orang sering salah-kaprah mengartikan checks and balances sebagai penguatan satu pihak agar “setara” dengan yang lain, apalagi sekadar alasan penguatan martabat.

Melihat karakteristiknya, logika perubahan UU MD3 mirip dengan RUU Keamanan Nasional: mengekspose rivalitas lembaga negara. Ada anggapan Polri menguat pasca Reformasi sehingga perlu memperluas kewenangan TNI.

Pada UU MD3, ada anggapan perlu penguatan martabat legislatif karena tradisi politik sejak Orde Baru dirasa “eksekutif sentris”.

Baca juga : Soal UU MD3, Anggota DPR Kecewa Pemerintah Beda Sikap di Hadapan MK

Terlepas bagaimana yang pro dan kontra membahasakannya, polemik UU MD3 adalah gesekan menerjemahkan keseimbangan kekuasaan. Beberapa pasal menjadi kontroversi.

Pasal 73 tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan melalui Polri, Pasal 122 tentang langkah hukum Mahkaman Kehormatan Dewan (MKD) terhadap siapapun yang merendahkan kehormatan, dan Pasal 245 tentang imunitas atas penangkapan anggota dewan.

Walaupun UU MD3 disebut-sebut sebagai pencederaan kebebasan umum karena jeratannya bisa mengenai masyarakat luas, strukturnya lebih bertujuan meningkatkan kuasa legislatif atas eksekutif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com