JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ahmad Doli Kurnia merespons soal wacana untuk menyusun Undang-undang (UU) Lembaga Kepresidenan.
Wacana soal UU tersebut diketahui menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Menurut Doli, pihaknya membuka peluang untuk mengkaji urgensi soal UU tersebut.
"Pertama saya kira kalau ada asumsi persepsi bahwa presiden cawe-cawe kan akhirnya tidak terbukti. Ini yang saya kira harus clear dulu. Bahwa kemudian ke depan kita harus mengatur semua kelembagaan kita termasuk lembaga kepresidenan saya kira itu perlu kita menjadi salah satu kajian kita dalam revisi UU atau penyempurnaan sistem politik dan sistem pemilihan kita," ujar Doli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Baca juga: Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi
Doli mengungkapkan, DPR sudah menyusun delapan aturan sebagai bagian dari penyempurnaan UU paket politik.
Kedelapan aturan yang dimaksud menurut Doli membahas hal-hal dasar soal sistem politik dan pemerintahan.
Sehingga jika ke depannya ada potensi pembahasan jika dalam perkembangannya aturan lembaga kepresidenan diperlukan.
"Yang delapan kami usulkan itu kan yang basic, nanti bisa berkembang termasuk juga mungkin lembaga kepresidenan dan juga yang lain-lain," katanya.
Doli menambahkan, kedelapan aturan yang sudah dipersiapkan DPR kemungkinan bisa menjadi omnibus UU politik.
Diberitakan sebelumnya, wacana untuk membuat UU Lembaga Kepresidenan terungkap dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024 di MK.
Baca juga: “Dissenting Opinion”, Hakim MK Arief Hidayat Usul Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan
Saat itu, Hakim MK Arief Hidayat yang menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda menilai perlu ada undang-undang yang mengatur tugas pokok dan fungsi presiden.
“Perlu juga dibuat Undang-undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detail uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan,” kata Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).
Arief menyoroti pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terang-terangan mendukung pasangan calon tertentu pada Pilpres 2024, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Arief, semestinya, seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tak boleh cawe-cawe dan memihak pada proses Pemilu 2024.
Sebab, mereka dibatasi oleh paham konstitusionalisme dan dipagari rambu-rambu hukum positif, moral, dan etika.
Baca juga: Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan
“Pada titik inilah, pemerintah telah melakukan pelanggaran pemilu secara terstruktur dan sistematis,” ujarnya.
Selain UU Lembaga Kepresidenan, Arief juga mengusulkan pembentukan Mahkamah Etika Nasional.
Lembaga ini dinilai penting untuk menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Presiden dalam masa pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.