JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menunjukkan, empat korban mutilasi di Mimika, Papua, tak terlibat gerakan separatis Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Temuan ini berbanding terbalik dengan narasi yang dikembangkan aparat selama ini, yang menyebut bahwa salah satu korban mutilasi merupakan simpatisan KKB.
“Kami menemukan sejumlah hal, yang pertama tuduhan bahwa korban terlibat gerakan sparatis itu tidak terbukti,” kata Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat (23/9/2022).
Baca juga: Pangakostrad Apresiasi Penyelidikan Komnas HAM soal Kasus Mutilasi di Mimika
Investigasi Kontras yang dilaksanakan pada pertengahan September 2022 mendapati latar belakang keempat nama korban, yang seluruhnya diyakini tak terkait gerakan separatis.
Rivan mengungkapkan, korban berinisial AL merupakan pengurus gereja dan korban berinisial IN adalah kepala desa aktif.
Sedangkan korban berinisial LN merupakan calon pegawai negeri sipil (PNS) dan satu korban lainnya berinisial AN adalah seorang petani yang masih berusia 17 tahun dan tergolong anak-anak.
Baca juga: Pangkostrad Tegaskan 6 Prajurit Tersangka Mutilasi di Mimika Bisa Dipecat
Temuan Kontras terkait identitas AN juga telah terkonfirmasi oleh sang paman yang sejak kecil merawat AN.
“Kami baru saja melakukan konfirmasi kepada paman yang dari kecil sudah melakukan perawatan terhadap tumbuh kembangnya AN, ini mengkonfirmasi temuan kami bahwa satu korban ternyata adalah seorang anak,” ujar Rivan.
Rivan juga mengatakan tuduhan mengenai jual beli senjata sejak mencuatnya kasus ini minim bukti.
Baca juga: Para Tersangka TNI dan Sipil Kasus Mutilasi di Mimika Diduga Terlibat Bisnis Solar
Menurutnya, upaya yang coba diembuskan dalam kasus ini adalah adanya opini bahwa pelaku dan korban terlibat senjata api.
Kalau pun transaksi jual beli senjata api antara kedua belah pihak terjadi, Rivan menggarisbawahi, aparat TNI tetap dilarang menjual senjata tanpa melalui prosedur yang berlaku.
“Karena dalam konteks jual beli senjata api, TNI tidak boleh melakukan jual beli secara tunggal begitu saja, dia mesti ada prosedur tertentu yang harus dilakukan,” tegas Rivan.
Baca juga: Para Tersangka TNI dan Sipil Kasus Mutilasi di Mimika Diduga Terlibat Bisnis Solar
Rivan menambahkan, secara garis besar, kasus mutilasi ini tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi logis atas pendekatan militer yang sangat kental diterapkan dalam menangani situasi konflik di Papua.
Menurutnya, pendekatan yang dibangun dengan penambahan atau pergantian pasukan memperlihatkan tidak ada mekanisme dalam meninjau kembali keberadaan pasukan di Papua.
“Inilah yang membuat situasinya menjadi semakin parah,” tegas dia.