JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta sengkarut harga obat mahal diselesaikan oleh sejumlah menteri terkait dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (3/7/2024) pagi.
Pasalnya, harga obat dan alat-alat kesehatan di dalam negeri jauh lebih mahal 300-500 persen, atau 3-5 kali lipat dibanding negara tetangga termasuk Malaysia.
Dalam rapat tersebut, Jokowi bertanya-tanya alasan harga obat mahal namun industri farmasinya tidak kunjung maju.
Baca juga: Presiden Jokowi Tanya ke Menkes, Kenapa Harga Obat Mahal tapi Industri Farmasi Tak Maju-maju
Padahal seharusnya, tingginya harga obat membuat pendapatan industri farmasi membengkak.
"Dia (Presiden Jokowi) ingin harga alat kesehatan dan obat-obatan itu bisa sama dong dengan negara-negara tetangga. Kan kita harga alat kesehatan dan obat-obatan mahal. Kenapa harga obat dan alkes tinggi, yang kedua kok industrinya enggak maju-maju," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin usai bertemu usai rapat.
Ada inefisiensi dan tata kelola
Budi menilai, masalah inefisiensi jalur perdagangan dan tata kelola adalah penyebab harga obat dan alat kesehatan lebih mahal.
Oleh karena itu, tata kelola perdagangan komoditas obat-obatan harus lebih transparan supaya tidak ada peningkatan harga yang tidak beralasan.
"Tidak ada peningkatan harga yang unreasonable (tidak beralasan) deh atau unnecessary (tidak perlu) dalam proses pembelian alat kesehatan obat-obatan. Itu kan lebih masalah tata kelola dan desain proses pembelian kita itu seperti apa," ucap Budi.
Baca juga: Menkes Akui Harga Obat di Indonesia Lebih Mahal Dibanding Malaysia, Inefisiensi Penyebabnya
Ia berpendapat mahalnya harga obat dan alat kesehatan di dalam negeri juga tidak terlepas dari kebijakan perpajakan (tax policy).
Budi lantas mencontohkan sejumlah kebijakan pajak yang tidak berpihak pada industri di dalam negeri.
Pemerintah tidak mengenakan bea masuk untuk impor barang jadi alat kesehatan seperti USG, namun mengenakan bea masuk 15 persen jika mengimpor bahan baku untuk dirakit di dalam negeri.
Kebijakan pajak, lanjutnya, harus dibuat lebih efisien dan lebih sederhana namun tidak mengganggu pendapatan pemerintah.
"Ini kan ada inkonsistensi. Di satu sisi kita ingin dorong industri ini supaya produksi dalam negeri, tapi di sisi lain supporting insentifnya atau insentifnya enggak line (satu garis lurus)," jelas Budi.
Relaksasi pajak