PERINGATAN Hari Ulang Tahun (HUT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan momen penting untuk merenungkan peran institusi ini dalam masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan kepercayaan publik, Polri dihadapkan pada dua tantangan utama: netralitas dan profesionalitas.
Kedua aspek ini tidak hanya berkaitan dengan praktik sehari-hari kepolisian, tetapi juga menyentuh dimensi filosofis dan etis yang mendasar dalam penegakan hukum dan keadilan, khususnya dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum.
Netralitas dalam konteks Polri tidak sekadar berarti tidak berpihak, tetapi memiliki makna lebih jauh, yaitu menyangkut prinsip keadilan dan integritas.
John Rawls, dalam teori keadilannya, menyatakan bahwa keadilan sebagai fairness memerlukan lembaga-lembaga yang mampu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang adil tanpa memihak kepentingan tertentu.
Netralitas Polri, dalam pandangan ini, adalah tentang memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan yang diambil harus berada di bawah payung keadilan dan tidak berdasar kepada kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
Filosofi netralitas juga terkait dengan konsep "veil of ignorance" dari Rawls, di mana setiap individu harus membuat keputusan tanpa pengetahuan tentang posisi mereka dalam masyarakat, sehingga menghasilkan keadilan sejati.
Polri sebagai institusi harus berfungsi seperti ini, memastikan bahwa keputusannya diambil tanpa bias atau pengaruh eksternal yang dapat merugikan keadilan.
Netralitas juga menyangkut tanggung jawab moral. Immanuel Kant, dalam etika deontologisnya, menekankan pentingnya tindakan yang didasarkan pada kewajiban moral dan prinsip universal.
Dalam konteks Polri, ini berarti bahwa setiap tindakan dan keputusan harus didasarkan pada hukum dan etika profesional, bukan pada kepentingan pribadi atau tekanan eksternal.
Tantangan netralitas Polri sering kali diuji dalam interaksi antara kekuasaan dan penegakan hukum.
Michael Lipsky, dalam teorinya tentang street-level bureaucracy, menyebutkan bahwa petugas di lapangan memiliki kekuasaan diskresi yang besar. Namun, kekuasaan ini harus digunakan dengan penuh tanggung jawab dan menegakkan prinsip netralitas.
Diskresi yang tidak netral berpotensi mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan menciptakan ketidakpercayaan publik.
Contoh nyata dari tantangan ini dapat dilihat dalam beberapa kasus besar di Indonesia, di mana keputusan Polri dalam menangani kasus-kasus yang terkait penguasa dan pengusaha menimbulkan kontroversi dan menciptakan persepsi bias di masyarakat.
Misalnya, penanganan kasus hukum yang melibatkan tokoh politik atau pejabat terkemuka sering kali menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas Polri.
Ujian besar bagi Polri adalah membuktikan netralitas dan profesionalisme dalam penanganan kasus-kasus tersebut agar dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat dan menunjukkan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
Selain itu, dalam konteks pemilu, netralitas Polri sangat diuji. Laporan tentang dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam mendukung salah satu kandidat dapat merusak kredibilitas institusi ini.
Oleh karena itu, penting bagi Polri untuk menjaga jarak dari pengaruh politik dan memastikan bahwa semua tindakan diambil berdasarkan hukum dan keadilan dengan membuktikan bahwa langkah dalam setiap penanganan kasus dapat diuji etika dan prosedurnya.
Profesionalitas dalam kepolisian dapat dilihat dari dua elemen utama: integritas dan kompetensi. Integritas berkaitan dengan moral dan etika, sementara kompetensi terkait dengan keterampilan dan pengetahuan.
Menurut Max Weber, profesionalisme dalam birokrasi adalah salah satu pilar yang memastikan bahwa tugas-tugas administrasi dilakukan dengan efisien dan sesuai dengan aturan. \
Dalam konteks Polri, profesionalitas berarti menjalankan tugas dengan standar tinggi, bebas dari korupsi, dan berdasar pada pengetahuan mendalam tentang hukum dan penegakan hukum.
Weber juga menekankan pentingnya hierarki yang jelas dan pelatihan kontinu untuk memastikan bahwa anggota birokrasi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan terukur.
Jika dikaitkan dengan pelaksanaan tugas Polri, ini berarti bahwa setiap anggota harus memiliki akses kepada pelatihan berkualitas dan sistem evaluasi yang adil untuk memastikan kompetensi mereka terus berkembang.
Tantangan utama dalam mewujudkan profesionalitas Polri adalah memastikan bahwa setiap anggotanya memiliki integritas tinggi dan kompetensi yang memadai.
Samuel Huntington dalam bukunya "The Soldier and the State" menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi aparat penegak hukum untuk menjaga profesionalitas.
Namun, ini tidak hanya soal teknis, tetapi juga soal membangun budaya yang mendukung integritas dan etika dalam setiap tindakan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Polri telah menghadapi kritik atas isu-isu penyalahgunaan kekuasaan. Kasus-kasus ini tidak hanya merusak reputasi institusi, tetapi juga dapat mengikis kepercayaan publik.
Untuk mengatasi hal ini, perlu ada upaya yang konsisten dalam menegakkan kode etik dan memastikan bahwa setiap anggota Polri memahami pentingnya integritas dalam tugas mereka.
Isu lain yang sering muncul adalah kurangnya keterampilan memadai dalam menangani kejahatan cyber atau kejahatan transnasional.