Selanjutnya, Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 memperkuat kerja sama Kementerian Agama dengan YPHI dengan adanya klausul bahwa penyelenggaraan perjalanan jemaah haji oleh Menteri Agama diserahkan kepada YPHI yang nota bene didirikan oleh sejumlah ulama terkemuka saat itu. (Balitbang Depag & PPIM, 1998)
Fakta ini menunjukkan bagaimana posisi dan keterlibatan negara dalam penyelenggaraan ibadah haji yang sejatinya telah dimulai sejak negara ini berdiri, bahkan sejak masa pemerintahan kolonial.
Di sisi lain, Pemerintah juga telah membuka diri bagi pelibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan ibadah haji. Inilah fakta yang kian memperkuat bahwa haji bukanlah sebatas proyek Pemerintah atau Negara, tapi hajat umat, bangsa, dan negara.
Tentu saja bukan perkara mudah mengurus ratusan ribu jemaah haji dengan beragam karakter, latar belakang adat-istiadat, budaya, dan sebagainya.
Pada tahun ini, misalnya, Pemerintah harus menangani tak kurang dari 241.000 jemaah haji, yang terdiri atas 213.320 jemaah reguler dan 27.680 jemaah haji khusus.
Menurut data, angka ini menunjuk jumlah kuota haji terbesar dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia.
Namun yang patut disyukuri, meski dengan beban kerja yang demikian berat dan sangat menantang, Kementerian Agama selaku leading sector, ternyata mampu menghadirkan penyelenggaraan ibadah haji yang bermutu.
Wajar jika kemudian banyak mendapatkan apresiasi dari khalayak publik, baik dalam maupun luar negeri, di samping sejumlah catatan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Kompleksitas masalah yang muncul dalam penyelenggaraan ibadah haji tentu tidak semudah yang dibayangkan. Pemangku kepentingan yang terlibat sangat banyak dan beragam.
Di samping kompleksitas jemaah haji, ini juga terkait dengan kebijakan negara lain. Kita diikat oleh aturan atau regulasi negara tempat terselenggaranya ibadah haji, yakni Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
Ada sejumlah aspek yang menjadi kewenangan KSA dan di sisi lain negara-negara lain yang terlibat dalam prosesi ibadah haji hanya bisa menerima apa yang menjadi kebijakan yang digariskan KSA.
Contoh kasus, dalam hal layanan jemaah haji di Mina. Aktivitas jemaah di Mina ini menjadi salah satu aspek yang paling banyak disorot publik karena ketidaknyamanan akomodasi tenda dan fasilitas lainnya disebabkan jumlah jemaah yang melampaui ambang batas (overload).
Penyebab anomali Mina karena ketidakseimbangan antara ketersediaan ruang tenda yang notabene tidak pernah bertambah dari tahun ke tahun dibandingkan dengan jumlah jemaah calon haji yang tiap tahun terus bertambah sangat signifikan.
Kondisi ini berdampak pada tidak terwujudnya layanan ideal, utamanya bagi jemaah reguler di kawasan Mina.
Untuk itu, ada baiknya negara-negara Muslim menyerukan dan mendesak Pemerintah KSA agar memikirkan solusi permanen sehingga tidak terulang di masa yang akan datang.
Solusi yang bisa ditawarkan, misalnya berupa perluasan area Mina sehingga terjadi penambahan jumlah tenda dan fasilitas lainnya atau menambah jumlah tenda dengan desain tenda bertingkat atau bangunan permanen bertingkat. Secara hukum Syariah tidak akan menimbulkan polemik yang berarti.
Di sisi lain, dalam hal kebijakan yang menyangkut internal jemaah haji Indonesia, sejauh ini Kementerian Agama telah melakukan langkah-langkah yang inovatif dan sangat berani.
Misalnya mekanisme “Murur” atau menegasikan aktivitas bermalam di Muzdalifah. Langkah ini terbukti sangat efektif mengurangi dampak buruk akibat sempitnya lahan Muzdalifah, lagi-lagi disebabkan oleh faktor over capacity jemaah haji.