JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II DPR RI dari fraksi PKB, Yanuar Prihatin, menilai revisi UU Pemilu diperlukan sebagai evaluasi Pemilu 2024 yang sarat masalah.
Problematisnya Pemilu 2024 terlihat dari tidak bulatnya sikap delapan hakim konstitusi dalam putusan sengketa Pilpres 2024.
Sebanyak tiga hakim menganggap terjadi penyalahgunaan wewenang yang membuat pemungutan suara perlu diulang di sejumlah wilayah berpenduduk besar.
Yanuar menyoroti pentingnya pengaturan yang lebih ketat berkaitan dengan sanksi buat pejabat agar tidak terjadi kamuflase kampanye memakai fasilitas negara.
Baca juga: TPN Ganjar Nilai Putusan MK Tak Otomatis Berlaku, DPR dan Pemerintah Perlu Revisi UU Pemilu
Sanksi yang berat atas pelanggaran tersebut harus jelas, terukur dan nyata, serta menjadi kewenangan Bawaslu dan wajib dipatuhi oleh pejabat yang bersangkutan jika terbukti melanggar.
"Selama ini, tanpa sanksi yang berat dan jelas, presiden dan para menteri bisa seenaknya mempengaruhi pilihan politik rakyat dengan menggunakan fasilitas negara dan memanfaatkan kewenangannya secara terbuka untuk tujuan elektoral," ungkap Yanuar dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Selasa (23/4/2024).
"Pertama, secara teknis harus dipertegas ulang jadwal cuti khusus untuk para pejabat ini saat ingin kampanye politik. Durasi waktu atau jumlah harinya harus jelas, dan semua jadwal cuti ini wajib dilaporkan kepada KPU dan Bawaslu secara resmi," ujar dia.
Selama cuti seluruh fasilitas negara yang melekat pada dirinya harus dilepaskan, seperti mobil dinas, protokol dan ajudan yang dibiayai negara, kewenangan pembagian program pemerintah, dan lain-lain, imbuh Yanuar.
Dalam revisi UU Pemilu itu, Yanuar menilai, pembagian bansos, beasiswa, sertifikat tanah, uang, hingga peresmian-peresmian sarana/prasarana yang berdampak pada masyarakat harus diatur ulang waktunya agar tidak tumpang tindih di masa-masa kampanye.
Ia berpendapat, sorotan Mahkamah Konstitusi (MK) agar perjalanan dinas pejabat negara diatur ulang supaya tidak berimpitan dengan jadwal kampanye layak ditindaklanjuti.
Baca juga: Uji Materi Presidential Threshold Ditolak MK, PKS Bakal Berjuang Melalui Revisi UU Pemilu
"Saya kira sangat penting untuk mengatur ulang kampanye para pejabat negara setingkat presiden/wakil presiden dan menteri ini. Selama ini mereka, sadar atau tidak sadar, seringkali menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat untuk kepentingan elektoral," jelas Yanuar.
Ia menyinggung contoh, fasilitas negara dan program-program pemerintah yang instan, semisal bansos dan sejenisnya, tidak boleh lagi disalahgunakan untuk tujuan politik praktis.
Sebelumnya diberitakan, dalam putusan sengketa Pilpres 2024, MK menyoroti siasat pejabat negara yang juga ketua umum partai politik yang melakukan kampanye pada hari yang berdekatan dengan perjalanan dinas mereka.
MK mengambil contoh perjalanan dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang melakukan pembagian sembako.
Pasalnya, setelah bagi-bagi sembako, ia setelahnya menghadiri kampanye Partai Golkar sebagai ketua umum, dan juga hadir pada kegiatan yang dilakukan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam kegiatan APPSI di Semarang.
MK menilai, perlu dilakukan penyempurnaan aturan oleh pembentuk undang-undang.
Baca juga: Dorong Revisi UU Pemilu Terkait Batas Usia Capres, PKS: Jangan Seret MK Keluar Kewenangannya
"Pemerintah dan DPR perlu membuat pengaturan yang lebih jelas tentang aturan bagi pejabat negara yang juga merangkap sebagai anggota partai politik ataupun sebagai tim kampanye dalam melaksanakan kampanye yaitu pelaksanaan kampanye harus dilaksanakan terpisah, tidak dalam satu waktu kegiatan ataupun berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara," sebut Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
"Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye maupun menggunakan atribut kampanye dalam tugas penyelenggaraan negara menjadi terbuka lebar," jelasnya.
MK sendiri menilai bahwa dalil pelanggaran kampanye yang dituduhkan terhadap Airlangga tidak terbukti dalam sidang pembuktian sengketa Pilpres 2024.
Namun demikian, majelis hakim menilai, netralitas aparat adalah aspek penting dari prinsip demokrasi yang melindungi kebebasan politik dan partisipasi masyarakat dalam proses politik.
Tanpa netralitas, ujar Suhartoyo, demokrasi dapat terancam oleh otoritarianisme.
Baca juga: Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara
"Dalam konteks demikian, maka netralitas aparat dalam pemilu tidak hanya merupakan prinsip etis yang mendasar, tetapi juga krusial untuk menjaga kesehatan demokrasi dan stabilitas politik suatu negara," kata dia.
Oleh karena itu, dalam rangka penataan ke depan, kesadaran dan pemahaman tentang penataan demokrasi, penyelenggaraan pemilu perlu senantiasa mempertimbangkan tidak hanya aspek regulasi tapi juga aspek etik para pemegang jabatan publik.
"Dengan demikian, diharapkan dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengantisipasi ketidaknetralan aparatur negara dalam penyelenggaraan pemilu sekaligus memastikan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil," pungkas Suhartoyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.