JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM berkesimpulan pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak (acute kidney injury/AKI) yang terjadi sejak tahun 2022.
Kasus gagal ginjal akut ini disebabkan oleh obat yang mengandung zat kimia berbahaya di luar ambang batas aman, yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Kesimpulan ini didasarkan pada temuan Komnas HAM dalam kasus tersebut, yakni lambatnya informasi yang diberikan pemerintah, adanya tindakan tidak efektif dalam proses identifikasi penyebab gagal ginjal akut, dan tidak efektifnya pengawasan sistem kefarmasian.
Kemudian, buruknya koordinasi antara lembaga otoritatif dan industri dalam sistem layanan kesehatan dan kefarmasian, serta tidak maksimalnya penanganan korban dan keluarga korban.
"Pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia, terutama dalam memberikan informasi yang tepat cepat kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan serta meminimalisir dan mencegah bertambahnya korban," kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3/2023).
Kesimpulan lainnya, ada ketidakefektifan tindakan surveilans kesehatan atau penyelidikan epidemiologi yang dilakukan pemerintah dalam menemukan faktor penyebab kasus gagal ginjal.
Hal ini membuat jatuhnya korban jiwa tidak dapat diminimalisir, dan tidak mencegah lonjakan kasus.
Ditambah lagi, pemerintah tidak efektif dalam kebijakan dan tindakan pengawasan terhadap sistem kefarmasian, baik dari aspek produksi dan peredaran obat.
"Sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian dan dampak lanjutan terhadap ratusan anak-anak," ujar Anis.
Baca juga: Komnas HAM: Penyelidikan Kasus Gagal Ginjal Rampung, Kini dalam Proses Analisis
Kemudian, Komnas HAM juga berkesimpulan bahwa penanganan dan pemulihan korban atau keluarga tidak dilakukan secara cepat dan komprehensif. Hal ini membuat korban mengalami dampak lanjutan dari penyakit gagal ginjal yang sebelumnya diderita.
Dampak lanjutan tersebut berupa adanya kecacatan pada anak maupun hilangnya pekerjaan orang tua.
"Tiga keluarga yang kami datangi, sebagian di antara mereka orang tuanya terpaksa kehilangan pekerjaan karena harus mengurus secara bergantian dengan istrinya, karena harus mengurus anak yang harus setiap hari ke rumah sakit," kata Anis.
Selanjutnya, tata kelola kelembagaan dan koordinasi antar instansi pemerintah yang memiliki otoritas dalam pelayanan kesehatan dan pengawasan obat tidak efektif dan belum maksimal, serta tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Baca juga: Menko PMK: Bantuan untuk Korban Gagal Ginjal Akut Tengah Diproses di Kemensos
Kemudian, adanya kesengajaan mengubah bahan baku tambahan obat yang tidak sesuai peruntukannya, sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian. Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.
Lebih lanjut, adanya unsur pengabaian terhadap kewajiban industri dalam menjamin mutu khasiat dan keamanan obat. Hal ini, kata Anis, adalah bentuk pelanggaran terhadap HAM karena telah mencabut hak hidup seseorang.