Anis juga menyampaikan bahwa terdapat sejumlah pelanggaran HAM atas gangguan ginjal akut yang mencakup hak hidup, hak atas kesehatan, hak anak, hak memperoleh keadilan, hak atas kesejahteraan yaitu hak atas pekerjaan dan hak atas jaminan sosial, hak atas informasi, hak atas konsumen, serta hak atas pelanggaran terhadap prinsip bisnis dan HAM.
"Penanganan kasus gagal ginjal dengan tindakan yang tidak efektif adalah bentuk pembiaran pemerintah terhadap pelanggaran HAM dan pelanggaran dilakukan oleh negara karena mengabaikan kewajibannya," ujar Anis.
Baca juga: Sidang Gugatan Class Action Korban Gagal Ginjal Akut, Hakim Minta Tergugat Siapkan Tanggapan
Sebagai informasi, kasus gagal ginjal mencuat sejak tahun lalu yang disebabkan oleh keracunan obat sirup mengandung zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG).
Zat kimia berbahaya ini sejatinya tidak boleh ada dalam obat sirup, tetapi cemarannya kemungkinan ada karena zat pelarut tambahan yang diperbolehkan di dalam obat sirup, yakni propilen glikol, polietilen glikol, gliserin/gliserol, dan sorbitol.
Cemaran ini tidak membahayakan sepanjang tidak melebihi ambang batas.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga 5 Februari 2023 mencatat, sebanyak 326 kasus gagal ginjal yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Jumlah korban yang meninggal akibat kasus ini mencapai 204 orang.
Tak berhenti sampai situ, para korban menggugat Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta beberapa perusahaan farmasi maupun distributor yang tidak memenuhi ketentuan.
Mereka menganggap Kemenkes dan BPOM lalai dan menuntut biaya ganti rugi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.