"Cara pandang seperti ini hampir merata di semua politisi kita, di semua level. Sebab karena cara pandang seperti inilah maka muncul faktor kedua," ucap Ray.
Baca juga: Amien Rais Nilai Kepemimpinan Jokowi Mengarah ke Demokrasi Bohong-bohongan
Ray melanjutkan, dampak dari cara pandang demokrasi minimalis oleh para elite itu menimbulkan faktor masalah yang kedua. Yaitu minim atau bahkan mengabaikan pertimbangan moral atau etika dalam praktik demokrasi yang dilakukan para elite politik.
"Karena segala sesuatu dilihat dari boleh atau tidak secara hukum atau aturan, maka etika bukan sesuatu yang dipertimbangkan," ujar Ray.
Ray mencontohkan persoalan minimnya etika dan moral dalam praktik politik serta pemerintahan adalah merajalelanya praktek politik dinasti.
Menurut Ray, karena hukum tidak mengatur tentang larangan politik dinasti, maka para elite politik berlomba-lomba mendahulukan keluarga mereka untuk berbagai jabatan politik.
"Kala dikritik mereka akan menjawabnya tidak adanya aturan atau hukum yang melarangnya. Itulah kekosongan etika demokrasi di kalangan kita," kata Ray.
Karena pola pikir demokrasi yang minimalis dan minimnya etika dan moral dalam praktik, maka menurut Ray kondisi itu juga berdampak terhadap situasi yang ketiga yaitu kultur demokrasi yang tidak tumbuh.
Yang dimaksud Ray soal kultur demokrasi adalah seharusnya setiap individu warga berpikir dan bertindak tentang apa yang utama bagi banyak orang dari pada kepentingan diri sendiri atau kelompok. Hal itu bukan cuma ditujukan bagi para elite, tetapi juga untuk seluruh rakyat dari segala lapisan dan latar belakang.
Menurut Ray, hal yang utama dalam kultur demokrasi bukan soal aturan atau landasan hukum, tapi kesadaran untuk memberi kebaikan bersama.
"Kultur demokrasi ini sebenarnya amat sangat dekat dengan jiwa dari Pancasila kita. Yakni sila kedua 'Kemanusiaan yang adil dan beradab', dan sila kelima 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'," ucap Ray.
Baca juga: Kawal Semangat Reformasi, PPP Tolak Wacana Menunda Pemilu
"Nah, jika melihat pada 3 situasi ini, maka saya juga menyatakan perlunya reformasi! Bukan reformasi sistem politik, tapi reformasi kultur demokrasi bangsa kita," sambung Ray.
Di sisi lain, Ray menilai reformasi jilid II tidak perlu dilakukan terkait dengan penataan sistem ketatanegaraan. Menurut dia, segala hal yang sudah ada saat ini sudah cukup memadai menurut standar demokrasi modern.
Sebab menurut Ray, saat ini Indonesia sudah memiliki semua aturan dan lembaga yang umumnya ada di negara demokrasi modern. Selain itu, pilihan sistem ketatanegaraan yakni demokrasi ala Indonesia sejauh ini dinilai sudah tepat.
"Sekalipun tetap dibutuhkan perbaikan pada elemen tekhnisnya, tetapi bukan pada subtansi atau prinsip demokrasinya. Oleh karena itulah, saya merasa tidak dibutuhkan reformasi jilid II jika itu berkenan dengan penataan sistem demokrasi dan ketatanegaraan kita," papar Ray.
(Penulis : Ardito Ramadhan | Editor : Icha Rastika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.