“Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden,” ucap Pratikno, Kamis (24/10/2020).
Perbedaan halaman yang cukup signifikan, sebut Pratikno, terjadi karena adanya perbedaan format yang digunakan.
Menurut dia, sebelum disampaikan kepada Presiden, setiap naskah RUU dilakukan penyuntingan dan pengecekan teknis terlebih dulu oleh Kemensetneg agar siap diundangkan.
Baca juga: Menyoal Halaman UU Cipta Kerja yang Bertambah dan Pasal yang Berubah...
Namun dari hasil penelusuran, diketahui ada pasal yang dihapus dari naskah UU Cipta Kerja 812 halaman yang diserahkan DPR ke Istana.
Pasal yang dihapus adalah ketentuan pengubahan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7 yang mengubah ketentuan Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.
Namun aturan itu tak ada lagi dalam UU Cipta Kerja terbaru versi 1.187 halaman.
Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas membenarkan adanya penghapusan pasal itu. Menurut dia, sejak awal sudah ada kesepakatan di dalam rapat panitia kerja untuk menghapus pasal itu. Namun, pada naskah yang 812 halaman, pasal itu masih tercantum.
"Jadi kebetulan Setneg yang temukan, jadi itu seharunya memang dihapus,” kata dia.
Supratman menjelaskan, substansi pasal itu berkaitan dengan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. Menurut dia, pemerintah sempat mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan menambah satu ayat.
Namun, usulan tersebut tidak disepakati sehingga tak perlu ada perubahan dalam Pasal 46 UU Migas.
Baca juga: Faisal Basri: Oligarki Makin Mencengkeram Lewat UU Cipta Kerja
Pratikno yang ditanya soal perubahan substansi itu tak menjawab pertanyaan wartawan. Namun, ia meminta Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono untuk menyampaikan jawaban.
Dini pun mengamini pernyataan Supratman. Menurut dia, pasal itu dihapus sesuai dengan kesepakatan panitia kerja antara pemerintah dan DPR.
“Intinya, Pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing,” kata Dini saat dihubungi, Jumat (23/10/2020).
Dini mengakui, sesudah UU disahkan dalam rapat paripurna, tak boleh lagi ada perubahan substansi. Namun, Dini menegaskan, penghapusan pasal itu bukan berarti mengubah substansi dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober lalu.