Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Cipta Kerja Dinilai Bawa Kemunduran

Kompas.com - 06/10/2020, 20:22 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Amnesty International Indonesia menilai bahwa omnibus law Undang-undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR sangat tidak progresif.

Sebaliknya, banyak ketentuan dalam UU tersebut yang melanggar prinsip non-retrogresi sehingga membawa kemunduran dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat.

"UU Cipta Kerja ini sangat tidak progresif dan melanggar prinsip non-retrogresi yang basicly ini dalam konteks pemenuhan hak-hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) UU ini mundur ke belakang," kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Ary Hermawan dalam diskusi daring yang digelar Selasa (6/10/2020).

Baca juga: Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan, 35 Investor Global Malah Khawatir

Ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah misalnya, terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pekerja.

Pasal 59 UU Ketenagakerjaan semula mengatur bahwa PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan 2 tahun, selanjutnya dapat diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.

Sementara, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan itu diubah dengan menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum.

"Ini pada dasarnya melanggar hak pekerja atas job security," ujar Ary.

Baca juga: Ragam Reaksi Pengesahan UU Cipta Kerja, dari Kecewa hingga Apresiasi

Kemudian, Pasal 79 UU Ketenagakerjaan juga diubah dengan menghapus hak istirahat mingguan selama 2 hari setiap 5 hari kerja, sehingga hanya ada hak istirahat selama 1 hari setiap 6 hari kerja.

Ketentuan mengenai kebutuhan hidup layak (KHL) yang semula menjadi standar pertimbangan upah minimum yang diatur Pasal 89 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan pun ditiadakan.

"Ini artinya bahwa pekerja bisa mendapatkan upah yang lebih kecil dari yang sekarang," kata Ary.

Terkait kluster lingkungan, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 26 UU Lingkungan Hidup. Semula, dalam pasal tersebut dikatakan bahwa penyusunan dokumen Amdal melibatkan masyarakat dan berdasar pada prinsip pemberian informasi yang transparan.

Selain itu, masyarakat yang terdampak serta pemerhati lingkungan hidup dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.

Baca juga: Kemenkeu Yakin UU Cipta Kerja Buat Sistem Perpajakan Lebih Sederhana

Namun, ketentuan itu diubah sehingga penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. 

Sementara, Pasal 29-31 UU Lingkungan Hidup yang mengatur tentang Komisi Penilai Amdal yang juga mencakup pakar dan wakil masyarakat serta organisasi lingkungan hidup dihapus.

"Masyarakat pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang terpengaruh atas keputusan dalam proses Amdal tidak lagi dilibatkan dalam pembuatan dokumen Amdal, dan tidak jelas apakah masyarakat bisa mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal. Saya kira ini sangat serius," ucap Ary.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com