Sebaliknya, banyak ketentuan dalam UU tersebut yang melanggar prinsip non-retrogresi sehingga membawa kemunduran dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat.
"UU Cipta Kerja ini sangat tidak progresif dan melanggar prinsip non-retrogresi yang basicly ini dalam konteks pemenuhan hak-hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) UU ini mundur ke belakang," kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Ary Hermawan dalam diskusi daring yang digelar Selasa (6/10/2020).
Ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah misalnya, terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pekerja.
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan semula mengatur bahwa PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan 2 tahun, selanjutnya dapat diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.
Sementara, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan itu diubah dengan menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum.
"Ini pada dasarnya melanggar hak pekerja atas job security," ujar Ary.
Kemudian, Pasal 79 UU Ketenagakerjaan juga diubah dengan menghapus hak istirahat mingguan selama 2 hari setiap 5 hari kerja, sehingga hanya ada hak istirahat selama 1 hari setiap 6 hari kerja.
Ketentuan mengenai kebutuhan hidup layak (KHL) yang semula menjadi standar pertimbangan upah minimum yang diatur Pasal 89 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan pun ditiadakan.
"Ini artinya bahwa pekerja bisa mendapatkan upah yang lebih kecil dari yang sekarang," kata Ary.
Terkait kluster lingkungan, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 26 UU Lingkungan Hidup. Semula, dalam pasal tersebut dikatakan bahwa penyusunan dokumen Amdal melibatkan masyarakat dan berdasar pada prinsip pemberian informasi yang transparan.
Selain itu, masyarakat yang terdampak serta pemerhati lingkungan hidup dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.
Namun, ketentuan itu diubah sehingga penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Sementara, Pasal 29-31 UU Lingkungan Hidup yang mengatur tentang Komisi Penilai Amdal yang juga mencakup pakar dan wakil masyarakat serta organisasi lingkungan hidup dihapus.
"Masyarakat pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang terpengaruh atas keputusan dalam proses Amdal tidak lagi dilibatkan dalam pembuatan dokumen Amdal, dan tidak jelas apakah masyarakat bisa mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal. Saya kira ini sangat serius," ucap Ary.
Atas persoalan-persoalan ini, Amnesty International meminta pemerintah dan DPR untuk dapat merevisi UU Cipta Kerja dengan membenahi ketentuan-ketentuan yang bermasalah.
"Secara umum Amnesty meminta agar (UU) Cipta Kerja direvisi sesuai dengan proses politik di Indonesia," kata Ary
Untuk diketahui, DPR mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas dalam pemaparannya di rapat paripurna menjelaskan, RUU Cipta Kerja dibahas melalui 64 kali rapat sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020. RUU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.
"Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali: dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan enam kali rapat timus/timsin yang dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dimulai pagi hingga malam dini hari," ujar Supratman.
"Bahkan masa reses tetap melakukan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," tutur dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/20222231/uu-cipta-kerja-dinilai-bawa-kemunduran
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan