Ketika Presiden Soeharto berkuasa, Undang-Undang No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah diterbitkan.
Presiden mempunyai kewenangan penuh dan kontrol berlebih tentang penetapan kepala daerah.
Presiden memiliki penilaian tersendiri mengenai hasil rekomendasi yang disampaikan DPRD.
Kepala daerah diangkat oleh presiden dari yang meemnuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut dan diterima oleh presiden.
Melalui mekanisme ini, diharapkan ada kerja sama dari calon kepala daerah terpilih terhadap kepentingan penguasa.
Masa reformasi dan setelahnya
Setelah berakhirnya rezim Orde Baru, dilakukan revisi atas sejumlah UU. Salah satunya, pemerintah mengundangkan UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Sebelumnya, DPRD hanya mengusulkan nama dan kandidat kepala daerah, kemudian diserahkan kepada Presiden yang akan memutuskan diterima atau tidak usulan tersebut.
Kali ini, DPRD mempunyai wewenang penuh terhadap terpilihnya kepala daerah.
DPRD membuka rekruitmen di daerah secara demokratis, namun praktik pembelian suara oleh anggota DPRD dari calon kepala daerah banyak terjadi pada era ini.
Munculnya praktik politik uang menjadi kelemahan sistem ini.
Praktik politik uang yang bertujuan untuk membeli suara dari anggota DPR membuat jalannya pemilihan mendapatkan kritik dari berbagai kalangan.
Pada 2004, dilakukan revisi UU hingga terbitnya UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.
Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik.
Rakyat diberikan kesempatan langsung untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan pilihannya.
Setelah itu, muncul UU Nomor 12 tahun 2008. Dalam undang-undang ini, mereka yang mencalonkan diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu.
Calon perseorangan boleh mendaftar dengan syarat dukungan masyarakat.