Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riwayat Pilkada di Indonesia

Kompas.com - 27/06/2018, 06:00 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berlangsung di Indonesia punya cerita panjang.

Sebelum berlangsungnya pilkada secara langsung pertama pada 2005, mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kini, sejak 2015, pilkada langsung berlangsung serentak. Pada 2018 ini, Pilkada Serentak yang akan digelar pada hari ini, Rabu (27/6/2018), merupakan yang ketiga kalinya.

Dua pilkada serentak sebelumnya dilaksanakan pada 2015 dan 2017.

Kilas balik, ini riwayat pilkada di Indonesia.

Masa penjajahan

Pada masa pendudukan Belanda, semua pemimpin daerah ditunjuk dan dipilih langsung oleh pemerintah kolonial.

Belanda punya kewenangan penuh terhadap sistem pemerintahan pada waktu itu.

Jabatan pemimpin provinsi dan karesidenan diisi oleh orang-orang Belanda.

Sementara, warga Indonesia, hanya mendapatkan posisi sebagai pemimpin di tingkat kabupaten sampai camat.

Itupun masih harus memberikan upeti.

Bupati atau camat wajib memberikan upeti kepada Belanda sebagai sikap patuh terhadap penguasa.

Ketika Jepang masuk, sistem yang digunakan masih sama.

Setiap pemimpin daerah masih ditunjuk oleh penguasa. Hanya saja, penamaan jabatan berganti dengan istilah Jepang.

Masa setelah kemerdekaan

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sistem pemerintahan mulai dibenahi.

Terbit UU No 1 tahun 1945 yang mengatur mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah di mana kepala daerah menjalankan fungsi sebagai pemimpin komite nasional daerahnya.

Kepala daerah masih sama seperti sebelumnya karena kondisi politik pada awal kemerdekaan belum stabil.

Setelah 3 tahun berjalan, sistem ini diperbarui. Pada 1948 ditetapkan Undang-undang Pengganti tahun 1945.

Dengan penggantian undang-undang tersebut, sistem pemilihan menjadi lebih transparan.

Gubernur ditetapkan oleh Presiden, yang sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari DPRD Provinsi.

Sementara, bupati direkomendasikan oleh DPRD tingkat daerah, dan kepala desa diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa.

Semua dewan perwakilan di setiap jenjang berpengaruh besar terhadap siapa saja yang akan dijadikan kepala daerah.

Pada 1950, Undang-Undang Dasar 1945 berubah menjadi Undang-Undang Sementara (UUDS) 1950.

Pada masa ini, hanya terjadi sedikit perubahan nama dari tingkat provinsi dengan daerah tingkat I.

Tingkat kota atau kabupaten disebut daerah tingkat II. Demikian pula ke tingkatan di bawahnya menjadi daerah tingkat III untuk kecamatan.

Setelah dikembalikannya UUDS 1950 ke UUD 1945, peraturan konstitusi juga mengalami perubahan.

DPRD hanya merekomendasikan nama, dan yang berhak untuk menentukan adalah Presiden dan Mendagri.

Pemerintah pusat semakin kuat dengan kekuatannya untuk menentukan dan memberhentikan kepala daerah yang diusulkan oleh DPRD.

Masa Orde Baru

Ketika Presiden Soeharto berkuasa, Undang-Undang No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah diterbitkan.

Presiden mempunyai kewenangan penuh dan kontrol berlebih tentang penetapan kepala daerah.

Presiden memiliki penilaian tersendiri mengenai hasil rekomendasi yang disampaikan DPRD.

Kepala daerah diangkat oleh presiden dari yang meemnuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut dan diterima oleh presiden.

Melalui mekanisme ini, diharapkan ada kerja sama dari calon kepala daerah terpilih terhadap kepentingan penguasa.

Masa reformasi dan setelahnya

Setelah berakhirnya rezim Orde Baru, dilakukan revisi atas sejumlah UU. Salah satunya, pemerintah mengundangkan UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai penyelenggaraan pemerintah di daerah.

Sebelumnya, DPRD hanya mengusulkan nama dan kandidat kepala daerah, kemudian diserahkan kepada Presiden yang akan memutuskan diterima atau tidak usulan tersebut.

Kali ini, DPRD mempunyai wewenang penuh terhadap terpilihnya kepala daerah.

DPRD membuka rekruitmen di daerah secara demokratis, namun praktik pembelian suara oleh anggota DPRD dari calon kepala daerah banyak terjadi pada era ini.

Munculnya praktik politik uang menjadi kelemahan sistem ini.

Praktik politik uang yang bertujuan untuk membeli suara dari anggota DPR membuat jalannya pemilihan mendapatkan kritik dari berbagai kalangan.

Pada 2004, dilakukan revisi UU hingga terbitnya UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.

Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik.

Rakyat diberikan kesempatan langsung untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan pilihannya.

Setelah itu, muncul UU Nomor 12 tahun 2008. Dalam undang-undang ini, mereka yang mencalonkan diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu.

Calon perseorangan boleh mendaftar dengan syarat dukungan masyarakat.  

KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO Fakta Pilkada Serentak 2018 (3)

Kompas TV Jelang pelaksanaan Pilkada serentak, Komisi Pemilihan Umum, Kabupaten Karo, distribusikan kotak dan surat suara ke seluruh kecamatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

DPR Desak Polri Ungkap Kebenaran Terkait Kasus Meninggalnya Afif Maulana

DPR Desak Polri Ungkap Kebenaran Terkait Kasus Meninggalnya Afif Maulana

Nasional
PKB Beri Dukungan ke Sejumlah Bakal Calon Kepala Daerah, Ada Petahana Jambi Al Haris dan Abdullah Sani

PKB Beri Dukungan ke Sejumlah Bakal Calon Kepala Daerah, Ada Petahana Jambi Al Haris dan Abdullah Sani

Nasional
PKB Lirik Sandiaga Uno untuk Maju Pilkada Jabar 2024

PKB Lirik Sandiaga Uno untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Kementerian KP Tekankan Pentingnya Kolaborasi untuk Capai SDGs Poin 14

Kementerian KP Tekankan Pentingnya Kolaborasi untuk Capai SDGs Poin 14

Nasional
Kejagung Sita 713 Ton Gula Kristal dan Uang Rp 200 Juta di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Kejagung Sita 713 Ton Gula Kristal dan Uang Rp 200 Juta di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Nasional
Stranas PK Ungkap Kacaunya Pelabuhan Sebelum Dibenahi: Kapal Parkir Seminggu dan Rawan Korupsi

Stranas PK Ungkap Kacaunya Pelabuhan Sebelum Dibenahi: Kapal Parkir Seminggu dan Rawan Korupsi

Nasional
Temui Wapres, Nahdlatul Wathon Lapor Sedang Dirikan Kantor dan Pesantren di IKN

Temui Wapres, Nahdlatul Wathon Lapor Sedang Dirikan Kantor dan Pesantren di IKN

Nasional
Demokrat-Perindo Jajaki Koalisi untuk Pilkada 2024

Demokrat-Perindo Jajaki Koalisi untuk Pilkada 2024

Nasional
Wacana Koalisi PKS, PKB, PDI-P Berpotensi 'Deadlock' pada Pilkada Jakarta

Wacana Koalisi PKS, PKB, PDI-P Berpotensi "Deadlock" pada Pilkada Jakarta

Nasional
Pangkoarmada I Sebut Kapal Bakamla dan KKP Dikedepankan untuk Turunkan Tensi Laut China Selatan

Pangkoarmada I Sebut Kapal Bakamla dan KKP Dikedepankan untuk Turunkan Tensi Laut China Selatan

Nasional
AHY Mau Data Kementerian ATR/BPN Diunggah ke PDN asalkan Keamanan Terjamin

AHY Mau Data Kementerian ATR/BPN Diunggah ke PDN asalkan Keamanan Terjamin

Nasional
Terungkap di Sidang, Ketua Panitia Lelang Proyek Tol MBZ Tak Punya Sertifikasi

Terungkap di Sidang, Ketua Panitia Lelang Proyek Tol MBZ Tak Punya Sertifikasi

Nasional
93 CSIRT Sudah Terbentuk di Tingkat Pusat, Menko Polhukam Minta Jangan Hanya Jadi Pajangan

93 CSIRT Sudah Terbentuk di Tingkat Pusat, Menko Polhukam Minta Jangan Hanya Jadi Pajangan

Nasional
Tak Percaya Polisi, Keluarga Afif Maulana Minta Ekshumasi dan Otopsi Ulang

Tak Percaya Polisi, Keluarga Afif Maulana Minta Ekshumasi dan Otopsi Ulang

Nasional
PKB Anggap Duet Anies-Sohibul Tak Perluas Cakupan Pemilih

PKB Anggap Duet Anies-Sohibul Tak Perluas Cakupan Pemilih

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com