Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tujuh Alasan Koalisi Antikorupsi Laporkan Hakim Praperadilan Novanto ke MA

Kompas.com - 05/10/2017, 14:42 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

Kelima, hakim Cepi dianggap mempertanyakan hal yang diluar materi praperadilan.

Saat mendengar keterangan ahli yang diajukan oleh KPK, akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara Universitas Andalas, Feri Amsari, hakim menanyakan tentang status kelembagaan KPK yang dinilai sebagai Iembaga ad-hoc.

"Pertanyaan dari hakim tersebut sama sekali tidak menyentuh substansi praperadilan yang dimohonkan Setya Novanto dan juga tidak relevan dengan perkara yang sedang diuji," ujar Kurnia.

Keenam, putusan hakim Cepi dianggap bertentangan dan melanggar KUHAP. Dalam putusan akhir yang dibacakan, Cepi menyebutkan bahwa KPK melakukan kesalahan saat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka karena menaikkan status hukum seseorang menjadi tersangka harus di tahap akhir penyidikan, bukan awal penyidikan.

Namun, Koalisi Antikorupsi menyatakan, dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP berbunyi, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".

Mengenai status tersangka yang ditetapkan oleh KPK dapat merujuk ke Pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi, "Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana".

Lalu untuk menjelaskan mengenai frasa "bukti permulaan" dapat merujuk ke Pasal 184 KUHAP yang berbunyi, "Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa."

Ketiga aturan tersebut, lanjut Kurnia, sudah dapat menjelaskan bahwa penetapan tersangka Setya Novanto harus memenuhi minimal dua alat bukti yang sah.

"Memang benar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka harus pada fase penyidikan, namun dalil yang dibangun oleh Hakim telah keliru, karena tidak ada satu pun aturan yang menyebutkan bahwa penetapan tersangka harus di tahap akhir penyidikan," ujar Kurnia. 

"Selain itu dalam KUHAP sebagai pedoman hukum acara tidak pernah mengenal frasa akhir penyidikan," kata dia.

(Baca juga: Penjelasan KPK Terkait Penetapan Tersangka Novanto di Awal Penyidikan)

Ketujuh, Cepi dinilai keliru dalam menafsirkan penggunaan barang bukti dalam KUHAP.

Hakim Cepi mengatakan bahwa barang bukti yang disita dalam penyidikan terhadap terdakwa kasus korupsi e-KTP lainnya, Irman dan Sugiharto, tidak dapat digunakan dalam kasus yang diduga melibatkan Setya Novanto.

Namun, lanjut Kurnia, pada Pasal 46 ayat (2) KUHAP berbunyi, "Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan Iagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara Iain".

Kasus korupsi e-KTP, menurut Kurnia, tidak bisa dipandang hanya dilakukan oleh satu orang, dengan mengabaikan keterikatan antara orang per orang.

(Baca juga: Analogi Tiga Maling Ayam dan Putusan Praperadilan Setya Novanto...)

Dalam putusan Irman dan Sugiharto juga secara eksplisit hakim sudah membuktikan bahwa kasus ini dimensi hukumnya sangat Iuas.

Saat itu, kata Kurnia, Irman dan Sugiharto dinilai terbukti bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dengan masuknya delik penyertaan atau Pasal 55 KUHP menegaskan bahwa kasus ini melibatkan Iebih dari satu orang.

LaIu jika dicermati dalam aturan KUHAP, maka jika sebuah kejahatan dilakukan secara bersama-sama maka barang bukti untuk satu orang tersangka dapat digunakan juga untuk pembuktian tersangka Iainnya.

"Sehingga putusan yang dibacakan oleh Hakim Cepi Iskandar menjadi keliru dan tak berdasar hukum," ujar Kurnia.

Adapun yang melaporkan Cepi Iskandar adalah Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yang di dalamnya terdapat Indonesia Corruption Watch (ICW), Madrasah Anti Korupsi (MAK) Muhammadiyah, dan Tangerang Public Transparancy Watch (Truth).

Kompas TV KPK telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk menghadapi kemungkinan hukum dalam kasus ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com