Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tujuh Alasan Koalisi Antikorupsi Laporkan Hakim Praperadilan Novanto ke MA

Kompas.com - 05/10/2017, 14:42 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyatakan, pengkajian yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menemukan tujuh dugaan penyimpangan yang dilakukan hakim yang memimpin sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto, Cepi Iskandar.

Hal ini yang menjadi alasan Koalisi Antikorupsi melaporkan hakim Cepi ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA), Kamis (5/10/2017).

"Kita lihat ada tujuh temuan selama proses praperadilan Setya Novanto," kata Kurnia, di kantor Bawas MA, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis siang.

Pertama, lanjut Kurnia, hakim Cepi memeriksa materi praperadilan yang bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Seharusnya, upaya hukum yang diajukan Novanto, tersangka korupsi e-KTP melalui praperadilan, ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebab, menurut Kurnia, obyek yang dijadikan gugatan sudah melanggar KUHAP, yaitu penetapan tersangka.

(Baca juga: Menangkan Setya Novanto, Hakim Cepi Dilaporkan ke Badan Pengawas MA)

Ketentuan yang dilanggar adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, "Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini".

Kemudian, menurut Kurnia, Pasal 77 KUHAP yang berbunyi, "Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan".

Namun, sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan.

Ketetapan ini berdasarkan putusan uji materi terhadap KUHAP yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pasific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah.

(Baca juga: MK Putuskan Penetapan Tersangka Termasuk Obyek Praperadilan)

Hakim tunggal Cepi Iskandar (kanan) memimpin sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (12/9/2017). Sidang praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan proyek E-KTP Setya Novanto itu ditunda hingga tanggal 20 September karena pihak KPK meminta penundaan sidang untuk menyiapkan dokumen dan administrasi. ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt/17ANTARA FOTO/RENO ESNIR Hakim tunggal Cepi Iskandar (kanan) memimpin sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (12/9/2017). Sidang praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan proyek E-KTP Setya Novanto itu ditunda hingga tanggal 20 September karena pihak KPK meminta penundaan sidang untuk menyiapkan dokumen dan administrasi. ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt/17
Kedua, hakim Cepi dianggap mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyelidik dan penyidik KPK. Eksepsi yang diajukan oleh KPK seharusnya diterima oleh hakim Cepi.

Pasalnya, alasan yang diajukan oleh kuasa hukum Setya Novanto untuk melakukan upaya hukum praperadilan adalah tentang penyelidik dan penyidik KPK.

"Pembahasan ini sudah tidak relevan untuk dibahas Iebih lanjut dalam forum persidangan," ujar Kurnia.

Sebab, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi, "Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi".

Lalu Pasal 45 UU KPK yang berbunyi "Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi".

"Ini juga sudah diperkuat posisi hukumnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 110/PUU-Xlll/2015," ujar Kurnia.

(Baca juga: ICW Kemukakan 6 Kejanggalan Putusan Hakim Praperadilan Setya Novanto)

Ketiga, hakim Cepi dianggap mengabaikan alat bukti yang diajukan oleh KPK. Hakim Cepi dinilai seharusnya tidak menolak permohonan KPK untuk memutar rekaman yang menjadi salah satu alat bukti KPK untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Ia mengatakan, ada beberapa aturan hukum yang dapat membangun argumen bahwa rekaman tersebut patut untuk diperdengarkan dalam persidangan praperadilan Setya Novanto.

"Sehingga rekaman itu menjadi sesuatu yang penting untuk dijadikan dasar bagi KPK menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka," ujar Kurnia.

Keempat, hakim Cepi dianggap mengabaikan keterangan ahli yang diajukan KPK. Pengajuan saksi ahli oleh KPK, pakar sistem komputer dan teknologi informasi Universitas Indonesia Bob Hardian Syahbuddin, seharusnya didengarkan secara utuh oleh hakim.

Hakim seharusnya menolak sanggahan dari kuasa hukum Setya Novanto yang mengatakan bahwa ahli tersebut dinilai sebagai salah satu saksi dalam penyelidikan perkara e-KTP.

Kesimpulan yang dibangun pihak Novanto pun terlalu prematur, yakni keterangan ahli sudah memasuki substansi perkara.

"Padahal Hakim mempunyai wewenang yang besar untuk menyela pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh KPK maupun kuasa hukum jika arah pertanyaan tersebut menyentuh materi perkara utama," ujar Kurnia.

Tim pengacara Ketua DPR RI Setya Novanyo dan tim Biro Hukum KPK menunjukkan bukti-bukti dokumen dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/9/2017).KOMPAS.com/AMBARANIE NADIA Tim pengacara Ketua DPR RI Setya Novanyo dan tim Biro Hukum KPK menunjukkan bukti-bukti dokumen dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/9/2017).
Kelima, hakim Cepi dianggap mempertanyakan hal yang diluar materi praperadilan.

Saat mendengar keterangan ahli yang diajukan oleh KPK, akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara Universitas Andalas, Feri Amsari, hakim menanyakan tentang status kelembagaan KPK yang dinilai sebagai Iembaga ad-hoc.

"Pertanyaan dari hakim tersebut sama sekali tidak menyentuh substansi praperadilan yang dimohonkan Setya Novanto dan juga tidak relevan dengan perkara yang sedang diuji," ujar Kurnia.

Keenam, putusan hakim Cepi dianggap bertentangan dan melanggar KUHAP. Dalam putusan akhir yang dibacakan, Cepi menyebutkan bahwa KPK melakukan kesalahan saat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka karena menaikkan status hukum seseorang menjadi tersangka harus di tahap akhir penyidikan, bukan awal penyidikan.

Namun, Koalisi Antikorupsi menyatakan, dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP berbunyi, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".

Mengenai status tersangka yang ditetapkan oleh KPK dapat merujuk ke Pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi, "Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana".

Lalu untuk menjelaskan mengenai frasa "bukti permulaan" dapat merujuk ke Pasal 184 KUHAP yang berbunyi, "Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa."

Ketiga aturan tersebut, lanjut Kurnia, sudah dapat menjelaskan bahwa penetapan tersangka Setya Novanto harus memenuhi minimal dua alat bukti yang sah.

"Memang benar untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka harus pada fase penyidikan, namun dalil yang dibangun oleh Hakim telah keliru, karena tidak ada satu pun aturan yang menyebutkan bahwa penetapan tersangka harus di tahap akhir penyidikan," ujar Kurnia. 

"Selain itu dalam KUHAP sebagai pedoman hukum acara tidak pernah mengenal frasa akhir penyidikan," kata dia.

(Baca juga: Penjelasan KPK Terkait Penetapan Tersangka Novanto di Awal Penyidikan)

Ketujuh, Cepi dinilai keliru dalam menafsirkan penggunaan barang bukti dalam KUHAP.

Hakim Cepi mengatakan bahwa barang bukti yang disita dalam penyidikan terhadap terdakwa kasus korupsi e-KTP lainnya, Irman dan Sugiharto, tidak dapat digunakan dalam kasus yang diduga melibatkan Setya Novanto.

Namun, lanjut Kurnia, pada Pasal 46 ayat (2) KUHAP berbunyi, "Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan Iagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara Iain".

Kasus korupsi e-KTP, menurut Kurnia, tidak bisa dipandang hanya dilakukan oleh satu orang, dengan mengabaikan keterikatan antara orang per orang.

(Baca juga: Analogi Tiga Maling Ayam dan Putusan Praperadilan Setya Novanto...)

Dalam putusan Irman dan Sugiharto juga secara eksplisit hakim sudah membuktikan bahwa kasus ini dimensi hukumnya sangat Iuas.

Saat itu, kata Kurnia, Irman dan Sugiharto dinilai terbukti bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dengan masuknya delik penyertaan atau Pasal 55 KUHP menegaskan bahwa kasus ini melibatkan Iebih dari satu orang.

LaIu jika dicermati dalam aturan KUHAP, maka jika sebuah kejahatan dilakukan secara bersama-sama maka barang bukti untuk satu orang tersangka dapat digunakan juga untuk pembuktian tersangka Iainnya.

"Sehingga putusan yang dibacakan oleh Hakim Cepi Iskandar menjadi keliru dan tak berdasar hukum," ujar Kurnia.

Adapun yang melaporkan Cepi Iskandar adalah Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yang di dalamnya terdapat Indonesia Corruption Watch (ICW), Madrasah Anti Korupsi (MAK) Muhammadiyah, dan Tangerang Public Transparancy Watch (Truth).

Kompas TV KPK telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk menghadapi kemungkinan hukum dalam kasus ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Dinilai Berhasil, Zulhas Diminta PAN Jatim Jadi Ketum PAN 2025-2030

Dinilai Berhasil, Zulhas Diminta PAN Jatim Jadi Ketum PAN 2025-2030

Nasional
Jokowi Bagikan 10.300 Sertifikat Tanah Hasil Redistribusi di Banyuwangi

Jokowi Bagikan 10.300 Sertifikat Tanah Hasil Redistribusi di Banyuwangi

Nasional
TNI AL Latihan Pendaratan Amfibi di Papua Barat, Libatkan 4 Kapal Perang

TNI AL Latihan Pendaratan Amfibi di Papua Barat, Libatkan 4 Kapal Perang

Nasional
Tengah Fokus Urus Pilkada, Cak Imin Bilang Jatim Bakal Ada Kejutan

Tengah Fokus Urus Pilkada, Cak Imin Bilang Jatim Bakal Ada Kejutan

Nasional
Targetkan Sertifikasi 126 Juta Bidang Tanah, Jokowi: Presiden Baru Tinggal Urus Sisanya, Paling 3-6 Juta

Targetkan Sertifikasi 126 Juta Bidang Tanah, Jokowi: Presiden Baru Tinggal Urus Sisanya, Paling 3-6 Juta

Nasional
BNPT Apresiasi 18 Pengelola Objek Vital Strategis dan Transportasi

BNPT Apresiasi 18 Pengelola Objek Vital Strategis dan Transportasi

Nasional
Kemenpan-RB Harapkan Pendaftaran CASN Segera Dibuka, Instansi Diminta Kebut Isi Rincian Formasi

Kemenpan-RB Harapkan Pendaftaran CASN Segera Dibuka, Instansi Diminta Kebut Isi Rincian Formasi

Nasional
Pimpinan MPR Minta Pemerintah Tak Ragu Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

Pimpinan MPR Minta Pemerintah Tak Ragu Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Penyidik KPK Bawa 3 Koper dan 1 Ransel Usai Geledah Ruangan Kesetjenan DPR

Penyidik KPK Bawa 3 Koper dan 1 Ransel Usai Geledah Ruangan Kesetjenan DPR

Nasional
Hakim MK Ceramahi Kuasa Hukum Partai Aceh karena Telat Revisi Permohonan

Hakim MK Ceramahi Kuasa Hukum Partai Aceh karena Telat Revisi Permohonan

Nasional
Beri Pesan ke Timnas U-23, Wapres: Lupakan Kekalahan dari Uzbekistan, Kembali Semangat Melawan Irak

Beri Pesan ke Timnas U-23, Wapres: Lupakan Kekalahan dari Uzbekistan, Kembali Semangat Melawan Irak

Nasional
KPK Sebut Bupati Mimika Akan Datang Menyerahkan Diri jika Punya Iktikad Baik

KPK Sebut Bupati Mimika Akan Datang Menyerahkan Diri jika Punya Iktikad Baik

Nasional
Jokowi: 'Feeling' Saya Timnas U-23 Bisa Masuk Olimpiade

Jokowi: "Feeling" Saya Timnas U-23 Bisa Masuk Olimpiade

Nasional
Tolak PKS Merapat ke Prabowo, Gelora Diduga Khawatir soal Jatah Kabinet

Tolak PKS Merapat ke Prabowo, Gelora Diduga Khawatir soal Jatah Kabinet

Nasional
PKS Pertimbangkan Wali Kota Depok Maju Pilkada Jabar

PKS Pertimbangkan Wali Kota Depok Maju Pilkada Jabar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com