JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, KPK belum memerlukan adanya kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Dalam beberapa perkara, KPK kalah saat digugat praperadilan. Lembaga antirasuah itu dianggap tak berwenang menangani perkara yang digugat.
"Kalau undang-undang tidak memperkenankan SP3, ya itu yang jadi pilihan KPK. Saya lihat belum ada urgensi," ujar Alex, di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (12/9/2017).
Salah satu contohnya, dikabulkannya praperadilan yang diajukan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman.
KPK dinyatakan tak berwenang melanjutkan penyidikan kasus korupsi lima proyek pembangunan di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2009.
Dengan tidak adanya kewenangan menerbitkan SP3, maka berkas perkara itu diserahkan ke kejaksaan.
Kasus ini sebelumnya pernah ditangani oleh kejaksaan, namun dilimpahkan ke KPK.
"Kami limpahkan ke kejaksaan supaya diteruskan. Kami supervisi, nanti kami mengawal kejaksaan," kata Alex.
Alex mengatakan, sejauh ini, penanganan terhadap tersangka kasus korupsi sudah berjalan dengan baik.
Tak adanya kewenangan penghentian perkara justru membuat KPK lebih berhati-hati dalam menetapkan tersangka.
"Harus yakin dengan alat bukti yamg kami dapatkan, dan berkeyakinan perkara berlanjut terus. Saya kira bagus," kata Alex.
Alex mengakui, ada beberapa kasus yang tak bisa dilanjutkan KPK. Selain karena keputusan praperadilan, ada juga yang disebabkan kondisi terdakwa. Misalnya, kata dia, ada kasus di mana terdakwa sakit sehingga tidak dapat menjalani sidang.
"Yang bersangkutan kan tidak layak disidang, tapi telanjur ditetapkan tersangka. Bagaimana caranya? Mungkin bisa dilimpahkan ke kejaksaan, dan nanti kejaksaan yang keluarkan SP3," kata dia.