JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan suap yang menyeret Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi bergulir menjadi polemik.
Puspom TNI menilai keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengumumkan Henri serta anak buahnya, Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan di Basarnas tidak tepat.
Persoalannya adalah saat kasus itu diumumkan setelah proses operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Henri dan Afri merupakan perwira militer aktif.
Menurut Puspom TNI, proses penyidikan terhadap perwira militer aktif yang diduga melakukan tindak pidana harus dilakukan oleh mereka, termasuk penerbitan surat perintah penyidikan dan penetapan tersangka.
Baca juga: Labilnya KPK Soal Penetapan Tersangka Kabasarnas, Awalnya Mengaku Khilaf, Kini Sebut Sesuai Prosedur
Sedangkan menurut KPK, mereka sudah menemukan bukti kuat atas dugaan keterlibatan Henri dan Alfi dalam kasus itu.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran terkait keterbukaan atas proses penyidikan terhadap Henri dan Afri. Karena status mereka sebagai militer, maka proses yang dilakukan pun tidak mengikuti aturan yang diberlakukan bagi kalangan sipil.
Persoalan lainnya adalah potensi impunitas atau kebal hukum jika proses hukum terhadap Henri dan Afri dilakukan secara tertutup oleh Puspom TNI.
Baca juga: Kekhilafan Penetapan Tersangka Kabasarnas Tanggung Jawab Penuh Pimpinan KPK
Menanggapi polemik itu, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta supaya persoalan penetapan tersangka Henri Alfiandi segera diselesaikan oleh KPK dan Puspom TNI.
“Polemik terkait dengan penetapan tersangka terhadap perwira TNI aktif ini diakhiri dan selanjutnya baik KPK maupun Puspom TNI membentuk tim koneksitas untuk melakukan proses terhadap dua perwira TNI aktif tersebut,” ujar Arsul pada Kompas.com, Sabtu (29/7/2023).
Arsul menyatakan KPK dan TNI harus menunjukan sinergitas dalam proses penegakan hukum. Sehingga pengusutan perkara bisa berjalan optimal.
“Dengan demikian nantinya akan ada paralelitas dan sinkronitas antara proses hukum terhadap warga sipil dan perwira TNI aktif yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut,” kata dia.
Ia pun meminta agar gesekan antara KPK dan TNI soal penetapan tersangka tidak diperpanjang.
Apalagi, kedua pihak telah bertemu guna membahas penanganan perkara tersebut. Arsul tak ingin proses penanganan perkara tidak berjalan dengan baik.
Ia mencontohkannya dengan kasus tindak pidana korupsi pengadaan Helikopter AW-101 tahun 2015-2017. Saat itu Puspom TNI menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada lima tersangka dari unsur militer yang diduga terlibat.
“Jangan sampai terjadi lagi seperti pada kasus tindak pidana korupsi Helikopter AW-101, di mana orang sipilnya diproses hukum dan dipidana penjara plus denda, namun tak demikian dengan perwira TNI yang diduga terlibat,” imbuh dia.