JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengklaim setiap proses penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sudah sesuai prosedur hukum.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi setelah menangkap tangan bawahannya, Letkol (Adm) TNI Afri Budi Cahyanto pada Kamis (27/7/2023) lalu.
“Seluruh rangkaian kegiatan oleh KPK dalam kegiatan operasi tangkap tangan, penyelidikan, penyidikan hingga penetapan para pelaku sebagai tersangka telah sesuai prosedur hukum dan mekanisme yang berlaku,” kata Firli dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
Firli menjelaskan bahwa KPK melakukan kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas pada 25 Juli 2023.
Baca juga: Polemik Penetapan Tersangka Kepala Basarnas, PKS: KPK Tak Perlu Minta Maaf, Merendahkan Diri Sendiri
KPK kemudian mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp 999,7 juta.
Dari situ, KPK melakukan penyelidikan untuk menemukan peristiwa pidananya, sehingga ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup.
“Maka KPK kemudian menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dan menetapkan para pihak atas perbuatannya sebagai tersangka,” ujar Firli Bahuri.
Adapun pengertian tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.
Firli mengatakan, setelah dilakukan tangkap tangan, maka peristiwa dugaan tindak pidana tersebut harus sudah dapat ditentukan dan ditetapkan sebagai peristiwa tindak pidana korupsi dalam waktu 1x24 jam.
Baca juga: Puspom TNI Sebut Baru Mau Mulai Usut Dugaan Suap Kepala Basarnas, Belum Tersangka
Firli kemudian mengatakan, pihaknya memahami bahwa TNI juga memiliki mekanisme peradilan militer tersendiri. Oleh karenanya, KPK melibatkan pihak Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dalam proses gelar perkara.
“KPK telah melibatkan POM TNI sejak awal, untuk mengikuti gelar perkara sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait,” katanya menegaskan.
Ia pun menekankan bahwa kewenangan KPK dalam mengkoordinasikan proses hukum tersebut sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Undang KPK dan Pasal 89 KUHP.
Bunyi Pasal 42 UU KPK adalah “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Menurut Firli, KPK juga melanjutkan proses penanganan perkara yang melibatkan para pihak dari swasta atau sipil.
“Dan menyerahkan penanganan perkara yang melibatkan oknum militer/TNI kepada TNI untuk dilakukan koordinasi penanganan perkaranya lebih lanjut,” ujar Firli.