JAKARTA, KOMPAS.com - Rentetan pelanggaran di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap sebagai wujud pelemahan terstruktur terhadap lembaga itu.
Dalam beberapa waktu belakangan informasi tentang pelanggaran di tubuh lembaga antikorupsi itu mulai terungkap. Mulai dari dugaan pungutan liar di rumah tahanan, dugaan perselingkuhan penjaga rutan dengan istri tahanan, sampai yang terakhir soal dugaan pemotongan uang dinas pegawai.
Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, merasa kecewa atas berbagai pelanggaran internal di lembaga yang pernah menjadi tempatnya mengabdi.
Menurut Abdullah ada perencanaan yang sistematis buat melemahkan KPK dari dalam, mulai dari pemilihan sosok Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang kontroversial sampai pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) yang justru dianggap kurang bertaji menindak sejumlah pelanggaran itu.
Baca juga: Tahanan KPK yang Terlibat Suap dan Gratifikasi di Rutan Diduga Capai Puluhan Orang
"Semua ulah Firli dan Dewas diduga untuk menciptakan image negatif di masyarakat terhadap KPK sehingga muncul tuntutan pembubaran KPK," kata Abdullah saat dihubungi pada Selasa (27/6/2023).
Menurut Abdullah, jika kondisi itu dibiarkan terjadi maka KPK yang menjadi salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi tidak lagi dipercaya dan disepelekan oleh masyarakat.
"Alasannya, KPK sama saja dengan Kepolisian dan Kejaksaan sehingga untuk apa dikeluarkan anggaran yang besar kalau kinerjanya jelek," ucap Abdullah.
Menurut Abdullah, pelanggaran di internal KPK yang marak juga dampak dari ulah para pimpinannya yang tidak memberikan contoh perilaku teladan.
Baca juga: Pegawai KPK Diduga Tilap Uang Dinas, Kerugian Negara Capai Rp 550 Juta
Bahkan sebelum menjabat sebagai Ketua KPK, Firli sudah pernah dinyatakan bersalah oleh Majelis Kode Etik KPK.
Kesalahan Firli saat menjabat Deputi Penindakan KPK karena menjemput saksi yang hendak diperiksa, yakni Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah.
Meskipun Firli menganggap tindakan itu wajar karena BPK adalah mitra kerja KPK, pada 2019, ia dinyatakan melanggar kode etik terkait hal ini.
Kasus lainnya adalah saat Firli yang masih berstatus Deputi Penindakan KPK bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat, M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang pada 2018.
Padahal saat itu KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemprov NTB.
Baca juga: Ada Pungli di Rutan KPK, Wapres: Jangan Sampai Berantas Korupsi tapi di Dalam Juga Terjadi
"Sewaktu Firli lolos seleksi pimpinan KPK di Pansel, pimpinan KPK kirim surat resmi ke pimpinan DPR, khususnya pimpinan Komisi 3 DPR, yang menginformasikan bahwa Firli bermasalah karena melanggar kode etik KPK. Faktanya, semua anggota komisi 3 pilih Firli sebagai Ketua KPK," ujar Abdullah.
Indikasi kedua perusakan KPK dari dalam, kata Abdullah, adalah muncul asumi Firli sengaja merekrut pegawai yang berpotensi bermasalah.