JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengkritik perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi menjadi 15 tahun dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hasil revisi.
Revisi UU MK itu baru saja disahkan DPR dalam rapat paripurna hari ini, Selasa (1/9/2020).
Peneliti PSHK Agil Oktaryal mengatakan, masa jabatan selama 15 tahun tersebut terlalu panjang.
"Lima belas tahun masa jabatan terlalu panjang untuk negara seperti Indonesia yang tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang masih rendah," kata Agil, Selasa (1/9/2020).
Baca juga: PSHK: Revisi UU MK Jadi Hadiah bagi Hakim Konstitusi...
Agil menuturkan, hal ini semakin menjadi masalah karena perpanjangan masa jabatan tidak diikuti dengan akuntabilitas pelaksanaan kewenangan hakim yang jelas.
Ia juga khawatir panjangnya masa jabatan hakim konstitusi dapat menimbulkan sikap korup jika tidak diawasi.
"Masa jabatan yang panjang juga tidak diikuti dengan desain pengawasan yang lebih baik terhadap MK, ini akan menjadi bahaya, karena kekuasaan yang lama tanpa pengawasan cenderung korup," kata Agil.
Baca juga: UU MK Direvisi, Mengatur Syarat Usia hingga Penegakan Kode Etik Hakim
Agil juga mempersoalkan kenaikan syarat usia minimum hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun.
Menurut Agil, kenaikan usia minimum tersebut tidak menjamin hakim konstitusi yang terpilih memiliki integritas dan kematangan.
"Usia 55 tahun yang jadi tolak ukur seseorang matang tidak menjamin integritas, karena terbukti dua orang hakim MK pernah ditangkap KPK karena melakukan praktik korupsi (Akil Muchtar dan Patrialis Akbar)," kata Agil.
Baca juga: Ketua Komisi III: Revisi UU MK agar Rekrutmen Hakim Transparan dan Akuntabel
Selain itu, hakim MK Arief Hidayat yang berusia di atas 55 tahun juga sudah dua kali terbukti melanggar etik.