Usulan kebijakan yang mengemuka menyarankan nama jabatan yang berbeda dengan gubernur, seperti "kepala wilayah" atau "pimpinan wilayah" yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dilengkapi seperangkat kewenangan untuk merencanakan, memfasilitasi, dan mengawasi kegiatan pemerintah daerah serta seluruh instansi yang bersifat vertikal –termasuk kepolisian (Khairi, 2022).
Tak pelak, posisi ini harus diisi oleh orang yang sejalan dengan presiden–‘the president’s man’ (Maksum, 2024).
Dalam situasi tersebut, pemilihan wakil pemerintah pusat beserta pemenuhan kelembagaannya merupakan titik krusial yang potensial menjadi ajang 'power game' baru.
Siapa yang tak berkeinginan menjadi representasi presiden di daerah dengan seperangkat kuasa yang menjadikannya berada di atas kepala daerah maupun kepala instansi vertikal lainnya?
Maka, aturan main pemilihan, pemberhentian, masa kerja, tata kerja, mekanisme pengawasan, dan pembiayaan wakil pemerintah pusat dan perangkat pendukungnya perlu difokuskan dan diatur secara spesifik, baik dalam revisi UU Pemerintahan Daerah serta peraturan pelaksanaannya.
Pola koordinasi dengan para kepala daerah dan kepala instansi vertikal menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengaturan tersebut.
Idealnya, wakil pemerintah pusat dijabat oleh pegawai negeri sipil senior yang pernah menjabat setidak-tidaknya jabatan pimpinan tinggi madya ataupun setara, baik di pusat maupun daerah, dengan pengetahuan mumpuni terkait penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Mereka yang berlatar belakang swasta dan umum dapat diberikan kesempatan, sepanjang pernah atau sedang menjabat sebagai anggota dewan direksi perusahaan atau organisasi berskala nasional atau internasional dengan pengalaman kerja paling singkat sepuluh tahun.
Hal tersebut umum menjadi prasyarat yang ditentukan dalam seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi madya dari jalur non-ASN.
Perwira tinggi TNI dan Polri juga dapat mengisi posisi tersebut sepanjang telah purnatugas dari dinas aktif minimal lima tahun guna menjaga kontrol sipil dan memastikan mereka telah kembali pada kehidupan sipil, di samping bahwa mereka pernah menjabat sebagai komandan satuan kewilayahan setingkat Komando Daerah Militer atau Kepolisian Daerah.
Pola macam tersebut telah dilakukan di Amerika Serikat dalam mengangkat menteri pertahanan apabila calon yang tersedia berlatar belakang militer; nonaktif dari militer minimal tujuh tahun, dan sepuluh tahun untuk yang berbintang empat.
Para wakil pemerintah pusat tersebut wajib melewati 'executive onboarding' guna menyatukan pemahaman bahwa keberadaan mereka di daerah adalah sebagai kepanjangan tangan presiden yang bergerak dan bertindak atas nama pemerintah pusat.
Penekanan juga perlu dilakukan agar mereka tidak menjadikan institusinya sebagai pesaing pemerintah provinsi, justru sebagai fasilitator yang mempertemukan antara kepentingan pusat dan aspirasi daerah.
Berkenaan poin di atas, dinamika psikologis hubungan antara wakil pemerintah pusat dengan gubernur memang nampaknya menjadi tantangan yang perlu diantisipasi, apalagi kewenangan melantik bupati/wali kota dan kepala instansi vertikal misalnya, kelak berada pada wakil pemerintah pusat, bukan gubernur sebagai kepala daerah.
Di atas itu semua, penting untuk diingat bahwa profesionalisme dan meritokrasi dengan dipagari kriteria yang ketat, alih-alih kesepakatan politik balik layar, wajib menjadi pertimbangan dalam mengangkat pejabat publik, tanpa kecuali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.