BELUM pudar ingatan akan keriuhan dinamika dan kerumitan pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang dihelat Februari 2024 lalu, pada November 2024 nanti, masyarakat akan dihadapkan pada hajatan politik lain yang tak kalah gegap gempita: Pilkada serentak pada 37 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota.
Khususnya pada tingkat provinsi, hasil Pilkada serentak pada semua provinsi kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta akan sedikit banyak mengubah konstelasi politik di tingkat daerah dan menjadi titik mula pembangunan nasional lima tahun ke depan dengan presiden-wakil presiden dan gubernur-wakil gubernur baru.
Dikaitkan dengan penyelenggaraan pembangunan nasional tersebut, keterpaduan gerak pemerintah pusat dan pemerintah daerah acap disinggung sebagai prasyarat kunci.
Dalam konteks dekonsentrasi, presiden selaku kepala pemerintahan memberikan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada gubernur agar mampu menggerakkan pemerintahan dan menjalankan arah kebijakan pusat secara efektif hingga tingkat daerah.
Pada kerangka tersebut, peran gubernur hanya bisa dibaca sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, yang wajib tegak lurus mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat.
Tak peduli apakah si gubernur berasal dari latar belakang politik berbeda dengan presiden maupun 'ruling coalition'.
Namun, sejalan dengan tuntutan akan pelaksanaan otonomi daerah pasca-Reformasi 1998, desentralisasi turut menguat dengan menempatkan gubernur dalam kedudukannya sebagai kepala daerah wilayah otonom.
Dalam posisi tersebut, gubernur diberi ruang untuk memperjuangkan aspirasi, kebutuhan, dan janji-janji politik yang sesuai dengan kepentingan khas daerahnya, yang bukan tak mungkin berseberangan dengan garis kebijakan pemerintah pusat.
Tarikan antara pelaksanaan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi tak terelakkan lagi, yang membuat gubernur berada di posisi sulit. Penanganan pandemi Covid-19 menjadi salah satu contohnya.
Di masa awal pagebluk terjadi, beberapa gubernur secara tegas melakukan 'lockdown' pada wilayahnya tanpa mendasarkan pada arahan pemerintah pusat seperti halnya prinsip dekonsentrasi bekerja.
Situasi itu menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan, para gubernur ini terdorong untuk meng-'exercise' otoritasnya selaku kepala daerah yang merupakan produk pemilihan langsung oleh rakyat (Budi & Anshari, 2020).
Maka, gagasan dalam revisi UU Pemerintahan Daerah yang salah satunya memisahkan peran gubernur sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat (prefek) dalam sistem prefektur tak terintegrasi (Maksum, 2024) perlu diapresiasi.
Ide tersebut seakan menjadi jalan tengah antara keinginan untuk mengangkat gubernur secara langsung oleh presiden atas nama efektivitas dekonsentrasi yang belakangan mengemuka, dengan tuntutan untuk menjaga hak demokrasi rakyat dengan tetap mempertahankan Pilkada provinsi.
Yang membuatnya menarik adalah konsekuensi dari pemisahan peran tersebut mendorong terbentuknya jabatan dan kelembagaan baru sebagai wadah gerak wakil pemerintah pusat di tingkat provinsi yang tak lagi dijabat gubernur.
Meskipun saat ini peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (GWPP) juga telah didukung perangkat kesekretariatan dan unit kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018, tetapi kenyataannya dirangkap oleh perangkat daerah provinsi dengan tugas dan fungsi yang serupa.
Usulan kebijakan yang mengemuka menyarankan nama jabatan yang berbeda dengan gubernur, seperti "kepala wilayah" atau "pimpinan wilayah" yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dilengkapi seperangkat kewenangan untuk merencanakan, memfasilitasi, dan mengawasi kegiatan pemerintah daerah serta seluruh instansi yang bersifat vertikal –termasuk kepolisian (Khairi, 2022).
Tak pelak, posisi ini harus diisi oleh orang yang sejalan dengan presiden–‘the president’s man’ (Maksum, 2024).
Dalam situasi tersebut, pemilihan wakil pemerintah pusat beserta pemenuhan kelembagaannya merupakan titik krusial yang potensial menjadi ajang 'power game' baru.
Siapa yang tak berkeinginan menjadi representasi presiden di daerah dengan seperangkat kuasa yang menjadikannya berada di atas kepala daerah maupun kepala instansi vertikal lainnya?
Maka, aturan main pemilihan, pemberhentian, masa kerja, tata kerja, mekanisme pengawasan, dan pembiayaan wakil pemerintah pusat dan perangkat pendukungnya perlu difokuskan dan diatur secara spesifik, baik dalam revisi UU Pemerintahan Daerah serta peraturan pelaksanaannya.
Pola koordinasi dengan para kepala daerah dan kepala instansi vertikal menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengaturan tersebut.
Idealnya, wakil pemerintah pusat dijabat oleh pegawai negeri sipil senior yang pernah menjabat setidak-tidaknya jabatan pimpinan tinggi madya ataupun setara, baik di pusat maupun daerah, dengan pengetahuan mumpuni terkait penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Mereka yang berlatar belakang swasta dan umum dapat diberikan kesempatan, sepanjang pernah atau sedang menjabat sebagai anggota dewan direksi perusahaan atau organisasi berskala nasional atau internasional dengan pengalaman kerja paling singkat sepuluh tahun.
Hal tersebut umum menjadi prasyarat yang ditentukan dalam seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi madya dari jalur non-ASN.
Perwira tinggi TNI dan Polri juga dapat mengisi posisi tersebut sepanjang telah purnatugas dari dinas aktif minimal lima tahun guna menjaga kontrol sipil dan memastikan mereka telah kembali pada kehidupan sipil, di samping bahwa mereka pernah menjabat sebagai komandan satuan kewilayahan setingkat Komando Daerah Militer atau Kepolisian Daerah.
Pola macam tersebut telah dilakukan di Amerika Serikat dalam mengangkat menteri pertahanan apabila calon yang tersedia berlatar belakang militer; nonaktif dari militer minimal tujuh tahun, dan sepuluh tahun untuk yang berbintang empat.
Para wakil pemerintah pusat tersebut wajib melewati 'executive onboarding' guna menyatukan pemahaman bahwa keberadaan mereka di daerah adalah sebagai kepanjangan tangan presiden yang bergerak dan bertindak atas nama pemerintah pusat.
Penekanan juga perlu dilakukan agar mereka tidak menjadikan institusinya sebagai pesaing pemerintah provinsi, justru sebagai fasilitator yang mempertemukan antara kepentingan pusat dan aspirasi daerah.
Berkenaan poin di atas, dinamika psikologis hubungan antara wakil pemerintah pusat dengan gubernur memang nampaknya menjadi tantangan yang perlu diantisipasi, apalagi kewenangan melantik bupati/wali kota dan kepala instansi vertikal misalnya, kelak berada pada wakil pemerintah pusat, bukan gubernur sebagai kepala daerah.
Di atas itu semua, penting untuk diingat bahwa profesionalisme dan meritokrasi dengan dipagari kriteria yang ketat, alih-alih kesepakatan politik balik layar, wajib menjadi pertimbangan dalam mengangkat pejabat publik, tanpa kecuali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.