Namun, serangan di dalam peperangan siber berbeda dengan penyerangan dalam perang konvensional atau perang fisik. Media utama yang digunakan di dalam cyber warfare adalah komputer dan internet.
Objek yang diserang dalam cyber warfare pun bukan wilayah fisik, wilayah teritorial ataupun wilayah geografis, namun objek-objek di dalam cyberspace yang dikuasai oleh negara.
Salah satu contoh kasus cyber warfare yang terkenal adalah kasus antara Amerika Serikat dengan Iran tahun 2008. Saat itu Amerika Serikat merusak sistem sentrifugal Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir milik Iran via cyber warfare.
Sementara itu, cyber terrorism merupakan aktivitas sejumlah jaringan atau kelompok teroris yang bertujuan mengganggu keamanan sosial, politik, dan ekonomi suatu negara dengan memanfaatkan kekuatan teknologi internet.
Misalnya, seperti menyerang website resmi pemerintah, melakukan penyadapan jaringan komunikasi strategis politik, mencuri sumber data elektronik perbankan, dan sebagainya.
Aktivitas siber ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kepanikan dan ketakutan dalam skala besar.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sudah sejauh mana atau sesiap apa kekuatan pertahanan dan keamanan siber Indonesia untuk melakukan cyber-warfare atau untuk menumpas cyberterorism?
Dari rentetan kasus peretasan yang terjadi, atau dari maraknya peredaran jasa judi online yang telah menelan uang masyarakat Indonesia ratusan triliunan setiap tahun, tapi gagal dibasmi oleh pemerintah, nampaknya pertanyaan tersebut terlalu utopis di mata pemerintah.
Jangankan mengejar dan menghukum para penjahat siber, saat diminta menindak para penyedia jasa judi online yang telah mengeruk uang rakyat ratusan triliun rupiah saja pemerintah malah memilih strategi pencegahan.
Jadi peristiwa kali ini sangat besar kemungkinan akan berakhir dengan transaksi yang indah (happy ending transaction) di antara kedua belah pihak, yakni pemerintah (Kemenkominfo, BSSN, Divisi Siber Polri, dll) dengan peretas atau penjahat siber.
Setelah itu, semuanya akan kembali seperti semula, sampai kasus yang sama terjadi lagi dan transaksi serupa akan terulang lagi.
Jadi, jika negara saja memilih berdamai dengan ancaman kejahatan siber, berdamai dengan fakta-fakta keras terkait dengan buruknya infrastruktur siber dan minimnya strategis cyber defense, maka apa kabar dengan keamanan data pribadi orang per orang masyarakat Indonesia?
Tentu asumsinya saderhana saja, jika pemerintah sendiri tak melindungi negara di ranah maya dan dunia siber, maka masyarakat Indonesia pun nampaknya sulit untuk berharap akan dilindungi juga di ranah digital oleh pemerintah.
Padahal dua hal tersebut harus dijalankan secara bersamaan. Pembenahan dan peningkatan investasi untuk pertahanan dan keamanan siber negara harus diarahkan tidak saja untuk kemananan dan pertahanan negara di ruang siber, tapi juga untuk memperkuat daya lindung negara atas keamanan data pribadi masyarakat.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu banyak belajar dari dunia perbankan nasional, mulai dari Bank Indonesia sampai bank-bank besar nasional lainnya.
Sektor perbankan sangat sensitif terhadap perkembangan zaman dan teknologi di satu sisi dan sangat mengutamakan aspek keamanan data nasabahnya, terutama di dunia maya dan ranah siber.
Sebelum saya menutup tulisan sederhana ini, saya ingin kembali mengingatkan kepada semua pihak, terutama pemerintah bahwa kita tidak bisa mengelak dari perkembangan zaman dan teknologi.
Jangankan mengelak, tertinggalpun semestinya tidak boleh, jika Indonesia memang ingin seperti yang digambarkan di dalam visi misi Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih periode 2024-2029, yakni kuat dan berdaulat.
Dan terkait dengan ancaman siber ini, sebagai penutup, saya ingin mengutip pakar IT dunia, Richard Clark. Katanya, “If you spend more on coffee than on IT security, you will be hacked.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.