Sementara saat serangan siber terjadi, pesawat tempur mahal dan senjata perang canggih yang telah dibeli nyatanya tak bisa digunakan untuk melawan.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia menetapkan anggaran Kemenhan pada 2024 sebanyak Rp 139,26 triliun, anggaran paling jumbo dibanding kementerian manapun di tanah air.
Bahkan jika dihitung dari periode 2020-2024, total anggaran Kemenhan mencapai Rp 692,92 triliun, jumlah yang cukup kontras jika disandingkan dengan realitas pertahanan dan keamanan siber hari ini.
Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana nanti jika alat, senjata, pesawat, kapal perang, tank, dan instrumen pertahanan lainnya, justru diretas dan digunakan untuk mengganggu sektor pertahanan Indonesia?
Bukankah itu akan menjadi lelucon yang akan ditertawakan oleh dunia karena sistem pertahanan nasional justru tidak bisa diandalkan karena tidak mampu bertahan dihadapan para penjahat siber.
Ada banyak efek negatif destruktif jika sektor keamanan siber tak segera dibenahi dan kemudian dibangun selanjutnya diperkuat secara serius.
Kejahatan cyber tidak saja menyebabkan kerugian secara ekonomi dengan nominal yang tidak sedikit, tapi juga membahayakan keamanan dan pertahanan negara beserta masyarakat yang ada di negara tersebut.
Data-data rahasia negara menjadi semakin rentan diretas dan diperjualbelikan di pasar gelap, bahkan fasilitas serta utilitas publik yang dikelola oleh negara untuk kepentingan umum bisa dibajak melalui jalur siber dan dijadikan alat untuk menebar ketakutan publik, bahkan dijadikan sebagai alat terorisme baru yang berpotensi memakan banyak korban.
Secara ekonomi, menurut data The Institute of Internal Auditors (IIA), secara global kerugian ekonomi akibat kejahatan cyber tak kurang dari 8,44 triliun dollar AS sepanjang tahun 2022.
Bahkan, menurut proyeksi Statista Technology Market Outlook, di tahun 2024 potensi kerugian ekonomi akibat cybercrime bisa menjadi 14,5 triliun dollar AS dan di tahun 2025 diproyeksikan menjadi 17,5 triliun dollar AS.
Angka kerugiannya secara ekonomi sangat besar dan potensi kerugiannya semakin besar untuk tahun-tahun mendatang, jika tidak diambil tindakan segera.
Di Indonesia, tahun 2021 saja tercatat sebanyak 239,74 juta serangan siber. Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Jakarta menjadi target utama serangan siber di Tanah Air.
Jumlah serangan siber yang mengarah ke Ibu Kota tercatat sebanyak 49,04 juta kali pada 2021. Posisinya disusul Aceh dengan 46,13 juta serangan siber pada tahun yang sama.
Kemudian, sebanyak 39,62 juta serangan siber ke Jawa Barat. Ada pula serangan siber ke Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing sebanyak 22,4 juta kali dan 19,9 juta kali.
Selain kerugian ekonomi, sebagaimana pernah saya jelaskan pada tulisan-tulisan saya yang terkait dengan cyber security, urgensi cyber security terkait erat dengan masalah pertahanan dan kedaulatan negara.
Dunia siber saat ini sudah pelan-pelan menjadi dunia yang diakui dan dimanfaatkan secara maksimal oleh semua pihak.
Sehingga semua pihak, termasuk negara Indonesia yang diwakili oleh pemerintahan (Menkominfo, BSSN, dll) juga harus hadir secara bermartabat dan berdaulat layaknya di dunia nyata.
Memang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberi banyak kemudahan dalam menjalankan aktivitas pemerintahan. Pemerintahan tentu telah menerima dan merasakan manfaat tersebut.
Namun seiring dengan itu juga lahir dan tumbuh ancaman baru yang berdampak bagi kestabilan dan kedaulatan negara juga, yakni ancaman kejahatan siber dan perang siber.
Ancaman tersebut bisa datang dari negara lain (cyber warfare) atau dari aktor nonstates (cyberterrorism).
Secara umum, cyber warfare merupakan perkembangan dari cyber attack dan cyber crime. Cyber warfare dapat diartikan sebagai perang di arena cyberspace.