Di kampus ada guru besar antropologi hukum Prof Dr Sulityowati Irianto yang juga berteriak-teriak soal kondisi ini.
Dalam Koentjaraningrat Memorial Lecturer, Sulistyowati mengingatkan bahwa jalan politik dan jalan hukum telah buntu. Ia pun menawarkan jalan kebudayaan untuk mengubah keadaan.
Ada juga Bivitri Susanti di Sekolah Tinggi Hukum Jentera dan Zaenal Arifin Muchtar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selebihnya narasi publik lebih banyak didominasi negara.
Sementara isu strategis seperti konstitusi, demokrasi, rule of law, kerusakan lingkungan hidup menjadi isu pinggiran.
Memang menjadi pertanyaan mengapa partai politik menjadi membisu. Mengapa anggota DPR juga tak bergairah menggunakan hak politknya.
Mengapa organisasi masyarakat juga seakan terlepas dari situasi kemasyarakatan. Mengapa organisasi advokat juga kehilangan nyali ketika eksistensi negara hukum terancam?
Organisasi advokat kehilangan sosok seperti Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution atau Harjono Tjitrosoebono.
Dalam lanskap politik itulah, kolom-kolom Sukidi, podcast Mahfud MD, mengisi kekosongan ruang-ruang publik.
Dengan subcriber yang kian meningkat, langkah Mahfud bersuara di podcast bisa menjadi sarana pendidikan politik bagi warga bangsa, bagi para pembayar pajak. Tugas itu sebenarnya menjadi tugas parpol dan ormas.
Situasi sosial politik yang “tintrim” atau perasaan publik yang tak pasti itulah yang saya rasakan dan saya bawakan, dalam pertemuan di Maarif Institute pada Kamis malam, 13 Juni 2024.
Maarif Institute, sekumpulan anak-anak ideologis Buya Ahmad Syafii Maarif, baru saja mempunyai Direktur Eksekutif baru, Andar Nurbowo, PhD lulusan Perancis.
Maarif Institute sebagaimana diwariskan Buya Syafii Maarif mengedepankan pemikiran kritis terhadap kondisi kebangsaan dan menjadi organisasi yang memerankan diri sebagai “muazin”.
Muazin yang selalu berteriak memberikan peringatan ketika ada ancaman terhadap penegakan hukum, terhadap korupsi, terhadap pelanggaran konstitusi. Buya Syafii telah memberikan contoh dalam tulisannya di sejumlah media.
Meskipun tulisan Buya Syafii sudah lama, namun masih relevan dengan situasi kekinian.
Coba kita tengok, esai Buya Syafii 10 November 2021. "... Ada aparat yang melindungi perjudian, penambangan liar, dan segala macam bentuk kelakuan busuk lainnya. Di dunia peradilan, gejala kumuh serupa juga tidak sulit ditemui. Di mana-mana terjadi jual beli perkara. Sekitar 80 persen pengacara, kata Todung Mulya Lubis kepada saya beberapa tahun yang lalu, adalah mafia hukum belaka. Sejak beberapa tahun terakhir, publik disuguhi berita kelam tentang BUMN pelat merah yang sudah lama makan ususnya sendiri. Sebutlah Asuransi Bumiputra 1912, Asuransi Jiwasraya, PT Asabri Persero, PT Garuda Indonesia, dan puluhan BUMN yang lain sudah di pinggir jurang kehancuran. Padahal, semua BUMN ini pasti ada komisaris yang bertugas mengawasi perusahaan.”