Permintaan ini bukan tanpa alasan. Mereka merasa bahwa beberapa usulannya tidak terakomodir dalam RUU.
"Beberapa hal yang disampaikan, kami terus terang tidak tahu apakah yang menjadi masukan kami diterima apa tidak," ucap Adib dalam konferensi pers terakhir di gedung PB IDI, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2023).
Tidak terakomodasinya usulan tersebut disebut tidak memenuhi unsur partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVII2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pada pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Namun, sejauh mana pemerintah dapat mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).
Jika pemerintah belum setuju atau tidak setuju atas pendapat yang disampaikan masyarakat, maka warga negara berhak untuk mendengar alasan atau pertimbangan ketidaksetujuan tersebut.
Anggapan ini pun disampaikan oleh puluhan lembaga termasuk PKJS UI, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, hingga Indonesia Corruption Watch (ICW).
Baca juga: Koalisi Masyarakat Nilai RUU Kesehatan Sarat Industrialisasi
Mereka juga menganggap pembahasan RUU tidak transparan. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan yang diserahkan pemerintah kepada DPR RI baru diketahui publik pada Maret 2023, meski pembahasan dimulai sejak Agustus 2023.
"Oleh sebab itu desakan untuk menunda saya kira desakan yang sangat patut dipertimbangkan oleh pemerintah termasuk DPR agar tidak keliru atau tidak mengulangi kesalahan dari waktu ke waktu proses pembentukan hukum yang seharusnya ada proses partisipasi bermakna," Kata Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P Wiratraman beberapa waktu lalu
Adib menilai, hilangnya peran organisasi profesi dalam penyusunan RUU akan merugikan masyarakat luas, bukan hanya organisasi profesi.
Baca juga: Kemenkes Klaim Partisipasi Publik untuk RUU Kesehatan Sudah Diselenggarakan secara Luas
Senada, Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan, organisasi profesi memiliki peran penting dalam mengatur anggota-anggotanya yang notabene para tenaga kesehatan di Indonesia.
Organisasi profesi termasuk organisasi perawat adalah garda utama yang melakukan pengawalan dan memberikan sanksi etik, utamanya ketika terdapat kasus malpraktik yang dilakukan oleh para nakes.
Ia lantas menyatakan, pihaknya akan melakukan mogok kerja mengingat pemerintah tidak melibatkan organisasi profesi dalam pembahasan RUU dengan metode omnibus law tersebut.
"Tentu sampai hari ini, konsolidasi terus kita lakukan. Bahkan PPNI kemarin rapat nasional, memutuskan kita secara kolektif bisa melakukan mogok kerja, cuti pelayanan dalam konteks untuk memberikan perlawanan proses atas RUU Kesehatan yang menurut kita sangat tidak dijamin," ungkap Harif di gedung PB IDI, Senin
Selain mogok kerja, kelima organisasi profesi akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika RUU disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
"Apabila ini nanti berlanjut sampai kepada tingkat II dan disahkan pada tingkat II, maka kami akan siapkan proses judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Baca juga: Tak Atur Pembatasan Iklan Rokok, Koalisi Masyarakat Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda