JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau yang terdiri dari 32 lembaga, meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Mereka menolak RUU Kesehatan yang ada saat ini, mengingat RUU tersebut tidak mengatur pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk zat adiktif tembakau termasuk rokok.
Padahal, menurut Project Manager Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Ni Made Shellasih yang tergabung dalam koalisi menyebut, Indonesia sangat terbelakang dalam penanganan penanggulangan peningkatan konsumsi zat adiktif terutama rokok.
Baca juga: ICW Sebut RUU Kesehatan Belum Mampu Jawab Masalah Korupsi Bidang Pelayanan Kesehatan
Adapun Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Kami mendorong untuk pengesahan RUU Kesehatan ini harus ditunda hingga pemerintah ataupun DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasan yang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, kemanusiaan, serta keadilan," kata Shella dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Shella menyampaikan, pengaturan tentang penjualan dan iklan rokok sangat penting dimasukkan dalam RUU Kesehatan, mengingat aturan yang ada saat ini sudah sangat usang.
Salah satu aturan yang disebut Shella adalah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Aturan ini, kata dia, sudah tidak sejalan dengan perkembangan maupun inovasi produk-produk dari industri rokok yang terus berkembang. Akhirnya, pengendalian produk tembakau pun menjadi kurang.
Baca juga: ICW Sebut RUU Kesehatan Belum Mampu Jawab Masalah Korupsi Bidang Pelayanan Kesehatan
Sayangnya, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan tidak memuat aturan yang signifikan untuk membatasi peredaran rokok di Indonesia.
"Kami tidak melihat perubahan yang signifikan. Padahal peningkatan konsumsi rokok pada kaum muda dan anak semakin mengkhawatirkan di Indonesia," beber dia.
Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, jumlah perokok anak usia 10-14 tahun meningkat sebesar 0,7 persen dari 1,4 persen di tahun 2013 menjadi 2,1 persen pada tahun 2018.
Sementara, perokok berusia 15-19 tahun meningkat 1,4 persen dari 18,3 persen pada tahun 2013 menjadi 19,6 persen di tahun 2018. Kemudian, data GYTS tahun 2019, usia remaja pertama kali tertinggi berada pada usia 15-19 tahun yakni sebesar 52,1 persen.
Selanjutnya, diikuti oleh remaja berusia 10-14 tahun yaitu 23,1 persen. Artinya, anak sudah mulai merokok pada usia SD dan SMP. Tak heran ia menilai, RUU belum berpihak pada jaringan pengendalian tembakau.
"Kami menilai industri rokok masih bebas masif mengiklankan dan mempromosikan produknya, sehingga selain menjerat kaum mudanya untuk menjadi perokok, ini juga dapat melemahkan daya kritis kaum muda terhadap bahaya rokok itu sendiri," tutur Shella.
Apalagi, Shella menilai iklan maupun promosi zat adiktif tembakau termasuk rokok memperlihatkan sebagai hal yang keren dan dewasa. Beberapa event yang digandrungi anak muda, termasuk event musik dan olahraga, masih banyak disponsori oleh rokok.