Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Pengesahan RUU Kesehatan di Tengah Perlawanan 5 Organisasi Profesi

Kompas.com - 20/06/2023, 08:27 WIB
Fika Nurul Ulya,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus berlanjut meski masih menuai pro dan kontra.

Terkini, keduanya sepakat untuk membawa RUU dengan metode omnibus law untuk masuk menuju pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna hari ini, Selasa (20/6/2023). Kesepakatan ini diambil dalam rapat kerja bersama pada Senin (19/6/2023).

Sejak awal termasuk pada sesi public hearing, terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan sejumlah organisasi profesi. Pemerintah menilai ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan melalui RUU Kesehatan, termasuk penciptaan dokter spesialis.

Baca juga: Sejumlah Organisasi Profesi Ancam Mogok Kerja jika Pembahasan RUU Kesehatan Diteruskan

Menurut pemerintah, dominasi organisasi kesehatan menghambat pertumbuhan dokter spesialis karena mahalnya biaya pengurusan izin praktek. Padahal rasio dokter spesialis di Indonesia masih jauh di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization).

Rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, lebih rendah dibandingkan dengan median Asia Tenggara, 0,20 per 1.000 penduduk. Sementara itu, rasio dokter umum 0,62 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, lebih rendah dari standar WHO sebesar 1,0 per 1.000 penduduk.

Beberapa waktu belakangan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah organisasinya menghimpun dana besar dan mempersulit para dokter untuk membuat Surat Izin Praktek (SIP).

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi menjelaskan posisi organisasi profesi dalam pembahasan RUU Kesehatan saat konferensi pers di Jakarta, Senin (19/6/2023). KOMPAS.com/Fika Nurul Ulya Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi menjelaskan posisi organisasi profesi dalam pembahasan RUU Kesehatan saat konferensi pers di Jakarta, Senin (19/6/2023).

Bantahan ini disampaikan usai Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyebut biaya pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) dan/atau Surat Izin Praktek (SIP) mencapai Rp 6 juta untuk satu orang.

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi menjelaskan, IDI hanya mengenakan iuran kepada anggota hanya Rp 30.000 per bulan. Selama 5 tahun, iuran yang dibayar oleh anggota mencapai Rp 1,8 juta.

Ada pula iuran perhimpunan dokter yang besarannya berbeda-beda di berbagai perhimpunan. Namun, rata-rata besaran iuran tersebut sekitar Rp 100.000 per bulan.

Baca juga: 5 Organisasi Profesi Bakal Ajukan Judicial Review jika RUU Kesehatan Disahkan

Selama lima tahun, iuran perhimpunan yang dibayar oleh dokter mencapai Rp 6 juta. Kemudian, terdapat pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) elektronik IDI sekitar Rp 30.000.

Lalu, biaya rekomendasi praktik yang disepakati Rp 100.000 per 5 tahun untuk satu SIP. Adapun untuk re-sertifikasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebesar Rp 100.000. Biaya-biaya itu diperlukan untuk melakukan aktivitas dan upaya mendukung program pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Terakhir, pemerintah melalui RUU Kesehatan bakal menerapkan STR berlaku seumur hidup dari yang semula diperpanjang 5 tahun sekali. Namun, STR tetap bisa saja dicabut bila melanggar hal-hal tertentu.

Selain soal STR/SIP, RUU Kesehatan juga mengatur soal aborsi, organisasi profesi, prioritas pencegahan promotif preventif, menjawab harga obat yang mahal, menangani pembiayaan kesehatan yang tidak efisien, dan masih banyak lagi.

Organisasi profesi melawan

Sejumlah organisasi profesi yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) melawan jika pembahasan RUU Kesehatan terus dilakukan.

Mereka akan mogok kerja jika pembahasan RUU Kesehatan terus dilanjutkan di pembahasan tingkat II. Sebelumnya, para organisasi profesi ini memang meminta pemerintah dan DPR RI untuk menyetop pembahasan hingga melangsungkan demo di depan Gedung DPR RI pada Senin (5/6/2023).

Baca juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Bawa RUU Kesehatan Disahkan dalam Rapat Paripurna

Permintaan ini bukan tanpa alasan. Mereka merasa bahwa beberapa usulannya tidak terakomodir dalam RUU.

"Beberapa hal yang disampaikan, kami terus terang tidak tahu apakah yang menjadi masukan kami diterima apa tidak," ucap Adib dalam konferensi pers terakhir di gedung PB IDI, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2023).

Tidak terakomodasinya usulan tersebut disebut tidak memenuhi unsur partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Ribuan tenaga kesehatan (Nakes) demo menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di gedung DPRD Sultra.KOMPAS.COM/KIKI ANDI PATI Ribuan tenaga kesehatan (Nakes) demo menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di gedung DPRD Sultra.

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVII2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pada pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Namun, sejauh mana pemerintah dapat mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).

Jika pemerintah belum setuju atau tidak setuju atas pendapat yang disampaikan masyarakat, maka warga negara berhak untuk mendengar alasan atau pertimbangan ketidaksetujuan tersebut.

Anggapan ini pun disampaikan oleh puluhan lembaga termasuk PKJS UI, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, hingga Indonesia Corruption Watch (ICW).

Baca juga: Koalisi Masyarakat Nilai RUU Kesehatan Sarat Industrialisasi

Mereka juga menganggap pembahasan RUU tidak transparan. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan yang diserahkan pemerintah kepada DPR RI baru diketahui publik pada Maret 2023, meski pembahasan dimulai sejak Agustus 2023.

"Oleh sebab itu desakan untuk menunda saya kira desakan yang sangat patut dipertimbangkan oleh pemerintah termasuk DPR agar tidak keliru atau tidak mengulangi kesalahan dari waktu ke waktu proses pembentukan hukum yang seharusnya ada proses partisipasi bermakna," Kata Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P Wiratraman beberapa waktu lalu

Adib menilai, hilangnya peran organisasi profesi dalam penyusunan RUU akan merugikan masyarakat luas, bukan hanya organisasi profesi.

Baca juga: Kemenkes Klaim Partisipasi Publik untuk RUU Kesehatan Sudah Diselenggarakan secara Luas

Senada, Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan, organisasi profesi memiliki peran penting dalam mengatur anggota-anggotanya yang notabene para tenaga kesehatan di Indonesia.

Organisasi profesi termasuk organisasi perawat adalah garda utama yang melakukan pengawalan dan memberikan sanksi etik, utamanya ketika terdapat kasus malpraktik yang dilakukan oleh para nakes.

Ia lantas menyatakan, pihaknya akan melakukan mogok kerja mengingat pemerintah tidak melibatkan organisasi profesi dalam pembahasan RUU dengan metode omnibus law tersebut.

"Tentu sampai hari ini, konsolidasi terus kita lakukan. Bahkan PPNI kemarin rapat nasional, memutuskan kita secara kolektif bisa melakukan mogok kerja, cuti pelayanan dalam konteks untuk memberikan perlawanan proses atas RUU Kesehatan yang menurut kita sangat tidak dijamin," ungkap Harif di gedung PB IDI, Senin

Ajukan judicial review

Selain mogok kerja, kelima organisasi profesi akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika RUU disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

"Apabila ini nanti berlanjut sampai kepada tingkat II dan disahkan pada tingkat II, maka kami akan siapkan proses judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

Baca juga: Tak Atur Pembatasan Iklan Rokok, Koalisi Masyarakat Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda

Di sisi lain, kelima organisasi itu meminta agar Presiden Joko Widodo tidak segera mengesahkan RUU tersebut. Namun, ada pula organisasi profesi yang mendukung rencana pemerintah.

"Tentu kami dari teman-teman tenaga medis dan nakes yang tergabung di dalam 5 OP tetap berharap tentunya kepada Presiden untuk tidak segera melakukan pengesahan dan penandatanganan atas RUU Kesehatan tersebut," harap Adib.

Tanggapan pemerintah

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejatinya sudah memberikan tanggapan terkait partisipasi bermakna. Mereka menyatakan, penyelenggaraan kegiatan partisipasi publik dalam penyusunan RUU Kesehatan sudah dilakukan secara luas oleh pemerintah dan DPR RI.

Baca juga: BPJS Kesehatan Tanggung Jawab ke Menteri di RUU Kesehatan, YLKI: Menkes Mau Cawe-cawe?

Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril menyebut Kemenkes, sebagai koordinator wakil pemerintah untuk RUU Kesehatan, sudah melakukan berbagai kegiatan partisipasi publik pada bulan Maret.

Hal itu dilakukan untuk menampung masukan publik sebagai bagian dari proses partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation).

"Jadi tidak benar tuduhan organisasi profesi tidak dilibatkan dalam proses pembahasan RUU ini,” kata Syahril dalam keterangan pers, Jumat (16/6/2023).

5 organisasi profesi tenaga kesehatan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berunjukrasa damai dan menyatakan sikap menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law di kantor IDI Tasikmalaya, Jalan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya, Senin (8/5/2023).KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA 5 organisasi profesi tenaga kesehatan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berunjukrasa damai dan menyatakan sikap menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law di kantor IDI Tasikmalaya, Jalan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya, Senin (8/5/2023).

Syahril menyampaikan, publik bisa memberikan masukan kepada pemerintah dalam menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Kesehatan setelah pemerintah menerima draft RUU dari DPR di bulan Februari yang lalu.

Saat itu kata Syahril, Kemenkes meluncurkan https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ agar publik dapat memberikan masukan dan mengunduh naskah akademis, termasuk draft RUU.

Kemenkes juga telah menyelenggarakan kegiatan partisipasi publik via zoom dan luring lebih dari 115 kali, yang dihadiri oleh 72.000 peserta.

Baca juga: YLBHI: RUU Kesehatan Bodong Naskah Akademiknya, seperti UU Cipta Kerja

Pelaksanaannya bukan hanya di Pulau Jawa, tapi juga di luar Pulau Jawa dengan organisasi profesi seperti IDI, PPNI, PDGI, IBI, IAI, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, CSO, dan organisasi lainnya.

Ia menuturkan, semua kegiatan tersebut terekam dalam Youtube Kemenkes.

Ia pun meminta beberapa pihak tidak menghasut bahwa RUU Kesehatan tidak melibatkan publik, jika permintaannya tidak terakomodir dalam RUU Kesehatan.

Baca juga: ICW Sebut RUU Kesehatan Belum Mampu Jawab Masalah Korupsi Bidang Pelayanan Kesehatan

“Jangan karena permintaan pihak-pihak tertentu yang tidak terakomodir dalam RUU lalu menghasut seolah-olah RUU ini tidak melibatkan publik secara partisipatif. Semua kegiatan ada foto dan videonya. Bisa dicek di Youtube Kemenkes,” jelas Syahril.

Hingga kni, ketegangan antara pemerintah dan organisasi profesi belum selesai. Sebab, pembahasan RUU Kesehatan terus berlanjut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

LHKPN Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Rp 6,39 M, tapi Beri Utang Rp 7 M, KPK: Enggak Masuk Akal

LHKPN Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Rp 6,39 M, tapi Beri Utang Rp 7 M, KPK: Enggak Masuk Akal

Nasional
PDI-P Setuju Revisi UU Kementerian Negara dengan Lima Catatan

PDI-P Setuju Revisi UU Kementerian Negara dengan Lima Catatan

Nasional
Prabowo Yakin Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa 8 Persen, Airlangga: Kalau Mau Jadi Negara Maju Harus di Atas Itu

Prabowo Yakin Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa 8 Persen, Airlangga: Kalau Mau Jadi Negara Maju Harus di Atas Itu

Nasional
Jadi Saksi Karen Agustiawan, JK: Negara Harus Petahankan Kebijakan Pangan dan Energi

Jadi Saksi Karen Agustiawan, JK: Negara Harus Petahankan Kebijakan Pangan dan Energi

Nasional
Prabowo Diminta Kurangi Pernyataan Kontroversi Jelang Pilkada Serentak

Prabowo Diminta Kurangi Pernyataan Kontroversi Jelang Pilkada Serentak

Nasional
Prabowo Terbang ke Sumbar dari Qatar, Cek Korban Banjir dan Beri Bantuan

Prabowo Terbang ke Sumbar dari Qatar, Cek Korban Banjir dan Beri Bantuan

Nasional
Soal Pernyataan 'Jangan Mengganggu', Prabowo Disarankan Menjaga Lisan

Soal Pernyataan "Jangan Mengganggu", Prabowo Disarankan Menjaga Lisan

Nasional
BNPB Harap Warga di Zona Merah Banjir Lahar Gunung Marapi Mau Direlokasi

BNPB Harap Warga di Zona Merah Banjir Lahar Gunung Marapi Mau Direlokasi

Nasional
Revisi UU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR

Revisi UU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR

Nasional
Prabowo Ogah Pemerintahannya Diganggu, Pakar: Sistem Kita Demokrasi

Prabowo Ogah Pemerintahannya Diganggu, Pakar: Sistem Kita Demokrasi

Nasional
Sistem Pemilu Harus Didesain Ulang, Disarankan 2 Model, Serentak Nasional dan Daerah

Sistem Pemilu Harus Didesain Ulang, Disarankan 2 Model, Serentak Nasional dan Daerah

Nasional
Brigjen (Purn) Achmadi Terpilih Jadi Ketua LPSK Periode 2024-2029

Brigjen (Purn) Achmadi Terpilih Jadi Ketua LPSK Periode 2024-2029

Nasional
JK Bingung Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Bisa Jadi Terdakwa Korupsi

JK Bingung Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Bisa Jadi Terdakwa Korupsi

Nasional
Jadi Saksi Karen Agustiawan, JK: Kalau Perusahaan Rugi Direkturnya Harus Dihukum, Semua BUMN Juga Dihukum

Jadi Saksi Karen Agustiawan, JK: Kalau Perusahaan Rugi Direkturnya Harus Dihukum, Semua BUMN Juga Dihukum

Nasional
Terseret Kasus Gubernur Maluku Utara, Pengusaha Muhaimin Syarif Punya Usaha Tambang

Terseret Kasus Gubernur Maluku Utara, Pengusaha Muhaimin Syarif Punya Usaha Tambang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com