Dalam konteks ini, maka masyarakat asli Papua akan melihat bahwa proses penegakan hukum yang sedang dilakukan KPK adalah upaya Jakarta (out group) untuk melawan atau mengkriminalisasi Orang Asli Papua (in group).
Baca juga: Anggota DPR Minta Firli Jelaskan Alasan Pertemuannya dengan Lukas Enembe
Hal tersebut diperparah dengan sejarah kelam yang telah dilakukan Jakarta (pemerintah pusat) terhadap masyarakat lokal di tanah Papua selama puluhan tahun.
Dalam buku terbitan LIPI berjudul Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Alm. Muridan dkk menjelaskan bahwa salah satu akar permasalahan konflik di Papua adalah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang banyak terjadi di masa lalu.
Selain itu efek marjinalisasi dari diskriminasi terhadap OAP dalam sektor pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal orang non-Papua sejak 1970 yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Hal itu menyebabkan adanya rasa curiga (bahkan dendam) dari OAP terhadap pemerintah pusat. Bahkan dalam beberapa kasus, pendatang non-Papua dapat menjadi objek kekecewaan masyarakat asli Papua karena dendam akibat marjinalisasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan Jakarta.
Peristiwa terbaru yang menggambarkan hal itu terjadi dalam konflik sosial di Dogiyai pada 12 November 2022, yang kini ditangani Komnas HAM RI Perwakilan Papua.
Hal tersebut dipicu kecelakaan yang menyebabkan tewasnya seorang anak OAP. Pelakunya kebetulan pendatang. Seorang pendatang yang tidak bersalah lalu dibunuh dan puluhan kios milik pendatang dibakar di Dogiyai.
Baca juga: Saat KPK Mesti Repot Datangi Papua Hanya demi Periksa Lukas Enembe...
Pemerintah dan masyarakat non-Papua harus memahami sensitivitas isu ini. Pendekatan yang ideal dilakukan ialah menggunakan hati melalui rasa empati mengingat OAP merupakan korban penindasan masa lalu.
Hal tersebut masih diabadikan dalam memori kolektif mereka (yang bahkan efek negatif dari penindasan tersebut masih dirasakan hingga kini).
Dalam konteks penegakan hukum yang sedang dilakukan KPK terhadap Lukas Enembe, KPK harus lebih berhati-hati dengan mendahulukan tindakan persuasif, baik kepada tersangka, tokoh-tokoh masyarakat, maupun stakeholders lainnya.
Cegah pertumpahan darah yang tidak perlu, yang berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM.
Kepastian hukum memang penting. Namun harus diingat bahwa esensi dilakukannya amandemen UUD 1945 yang menghilangkan kalimat “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat)” hanya menjadi sebatas “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” pada Pasal 1 ayat (3) ialah memiliki semangat bahwa sudah tidak berlaku mutlaknya lagi tradisi hukum Eropa kontinental yang lebih mengutamakan pendekatan positivistik di indonesia.
Kepastian hukum bukan lagi yang utama mengingat dalam tradisi negara hukum, rule of law pendekatan keadilan dan kemanfaatan hukum menjadi hal yang utama. Hal tersebut secara implisit telah diadopsi dalam konsep negara hukum indonesia.
Karena itu, setiap keputusan yang dibuat penegak hukum harus menyelaraskan antara konsep kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Jangan sampai ke depannya untuk mencapai kepastian hukum semata, harus mengorbankan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikorbankan. Apalagi mengorbankan nyawa manusia.
Dalam konsep HAM, hilangnya satu nyawa tetap merupakan pelanggaran HAM apabila tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.