Kini KPK yang superbody pun tidak lagi ditakuti. Sangat mengerikan karena korupsi makin merajalela. Ini tentu saja melenceng dari semangat reformasi.
Waktu berbicara dalam diskusi bertajuk “Refleksi 24 Tahun Reformasi: Membangun Kerangka Berpikir Pelopor Perubahan” di Jakarta Utara, Jumat (13/5) malam lalu, saya memberi ilustrasi sebuah meja penuh dengan makanan.
Di zaman Orde Baru, semua makanan yang ada di atas meja itu dikuras habis. Namun di zaman sekarang, bahkan meja-mejanya pun ikut hilang dicuri. Ini sebuah gambaran ironis betapa watak-watak yang antireformasi justru menguat.
Menko Polhukam Mahfud MD tahun 2021 pernah mengakui bahwa korupsi sekarang ini lebih gila dari era Orde Baru.
Dikatakannya, pada zaman Orde Baru korupsi lebih terkoordinasi dan diatur oleh Soeharto.
“Bapak ingat tidak dulu, tidak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim tidak berani korupsi, gubernur, pemda, bupati tidak berani. Sekarang bapak lihat ke DPR, korupsi sendiri, MA korupsi sendiri, MK hakimnya korupsi, kepala daerah, DPRD ini semua korupsi sendiri-sendiri. Dulu korupsinya terkoordinasi. Di dalam disertasi saya pada 1993 (mengungkap) pemerintah membangun jaringan korporatisme sehingga semua institusi dibuat organisasi," kata Mahfud (Kompas.com, 5 Juni 2021).
Berbagai kekisruhan sekarang ini dialamatkan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perlu diperhatikan kurun selama 24 tahun itu berarti akumulasi sebuah proses panjang.
Selama 24 tahun, sudah enam presiden berkuasa, mulai BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dan Joko Widodo sejak 2014.
Setiap presiden mempunyai kontribusi dalam periode masing-masing. Selama 24 tahun reformasi adalah hasil kolektif. Bukan cuma dalam hitungan kurun waktu, tetapi juga subyek pelaku sejarah.
Kemudian, yang perlu diingat, praktik kekuasaan di negeri ini dibagi dalam tiga kekuasaan sebagaimana pandangan filsuf Perancis Montesquieu yang dikenal trias politika.
Ada kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang seperti parlemen), eksekutif (pelaksana UU yakni presiden), dan yudikatif (pengawasan pelaksanaan UU yakni lembaga kehakiman).
Artinya ketiga pemegang kekuasaan itu yang mengelola dan memerintah negara. Kalau masing-masing pihak tidak sejalan, atau berjalan sendiri-sendiri, atau berjalan berkolusi; maka api reformasi akan padam di tengah jalan.
Semakin memprihatinkan melihat atraksi para aktor di panggung politik. Saling menyalahkan, saling mencerca, saling sikut, tetapi saat sama juga berkubu dengan lawan-lawannya.
Bisa demikian karena di politik itu yang abadi adalah kepentingan. Banyak tontonan perilaku politikus yang digambarkan Machiavelli sejak lima abad silam.
Dalam Il Principe yang ditulis selama 1512-1519, Machiavelli menggambarkan karakter politikus seperti singa (lion) yang kejam dan rubah (fox) yang licik.
Simpelnya untuk mendapatkan kekuasaan, orang akan menggunakan segala cara, agresif, eksploitatif, juga manipulatif.
Machiavelli menulis,“…orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa untuk menakuti serigala. Mereka yang hanya ingin bersikap seperti singa adalah orang bodoh. Sehingga, seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji kalau dengan demikian ia akan merugikan diri sendiri… Seandainya semua orang baik hati, anjuran ini pasti tidak baik. Tetapi karena manusia adalah makhluk jahanam yang tidak menepati janji, Anda tidak perlu menepati janji pula pada manusia lain.” (Machiavelli, Sang Penguasa, 1991).
Para politikus makin meneguhkan pandangan filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) bahwa manusia itu adalah serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus).
Saya berpendapat titik masalah lebih pada karakter atau watak. Karakter belum mampu mengendalikan nafsu kuasa. Karakter belum mampu memedomani cara-cara politik penuh adab.
Walau berulangkali reformasi fisik, sedemikian sempurnanya suatu sistem, begitu bagusnya tatanan struktur, tetapi ketika watak para aktornya tidak berubah, maka reformasi mungkin hanya akan jadi catatan sejarah, bukan menjadi pondasi politik bermartabat ke masa depan.
Pada peringatan 20 tahun reformasi tahun 2018, dalam kolom politik di harian Kompas, saya mengusulkan untuk mereformasi reformasi (Subhan, Bangsa Mati di Tangan Politikus, 2019).
Namun, jangan bayangkan seperti reformasi tahun 1998 yang berdarah-darah.
Reformasi paling krusial dan esensial adalah reformasi watak atau karakter bangsa, terutama para politikus.
Tentu menyangkut pola pikir dan jiwa patriotik. Kita harus menggelegarkan kembali agenda nation and character building yang didengungkan Sukarno.
Dengan kuatnya karakter, harapannya menjadi kultur berpolitik yang penuh adab. Apalagi kebangkitan nasional yang diperingati setiap 20 Mei berangkat dari kebangkitan akal budi.
Jika karakter tidak tereformasi, mungkin kembali ke titik nol: reformasi dan demokrasi akan terjungkal kembali ke tanah. Fenomena di Filipina sudah memberi sinyal kuat buat kita di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.