Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Penghitungan Pemilu di Indonesia

Kompas.com - 18/05/2022, 15:28 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia yang sudah dilakukan sebanyak 12 kali di Indonesia menggunakan beragam metode penghitungan suara.

Proses pemilu untuk menentukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) digelar pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Dalam setiap pemilu di Indonesia menerapkan metode penghitungan suara yang berbeda.

Untuk pemilu pertama di Indonesia yang digelar pada 1955, tidak diketahui metode penghitungan suara pemilih yang didapat partai politik, untuk kemudian diubah menjadi perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Baca juga: Mengenal Berbagai Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu

Metode Kuota Hare

Untuk pemilu di masa Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997), metode yang digunakan dalam penghitungan suara adalah Kuota Hare.

Kuota Hare adalah metode penentuan jumlah suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi di lembaga legislatif. Caranya adalah dengan membagi total suara sah dengan alokasi kursi yang tersedia di legislatif. Nilai pembagi itu disebut dengan bilangan pembagi pemilih (BPP).

Penghitungan suara melalui metode Kuota Hare hanya digunakan untuk menentukan proporsi kursi legislatif yang didapat oleh partai politik.

Metode itu tetap digunakan usai rezim Orde Baru berakhir setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya pada 21 Mei 1998 dan memasuki era reformasi.

Pada pemilu 1999, metode Kuota Hare digunakan untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh partai politik. Sebab, saat itu KPU menerapkan sistem proporsional tertutup.

Baca juga: Pengertian Kampanye dalam Pemilu dan Pilpres

Yang dimaksud sistem proporsional tertutup adalah para pemilih hanya diberi pilihan untuk memilih partai politik dalam pemungutan suara. Jadi pemilih tidak bisa menentukan langsung siapa calon anggota legislatif yang mereka pilih, walaupun saat itu KPU juga mempublikasikan daftar calon legislatif untuk setiap daerah pemilihan (dapil).

Dalam pemilu 2004, KPU tetap menggunakan metode penghitungan dengan Kuota Hare. Namun, mereka mengubah sistem pemungutan suara menjadi proporsional terbuka.

Jadi melalui sistem proporsional terbuka, para pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif yang mereka dukung. Selain itu, BPP yang digunakan dalam Kuota Hare bukan cuma menentukan jumlah kursi yang didapat partai politik, tetapi juga untuk menentukan ambang batas calon legislatif yang dinyatakan sebagai pemenang pemilu.

Selain itu, dengan penerapan sistem proporsional terbuka, maka para caleg yang mendapatkan suara di atas BPP maka langsung terpilih.

Baca juga: Mengenal Sengketa Pemilu Beserta Jenisnya

Akan tetapi, dalam penerapan sistem proporsional terbuka pada pemilu 2009 dan 2014, caleg dengan nomor urut mana pun bisa mendapatkan kursi di legislatif asal mendapatkan suara terbanyak.

Metode Sainte Lague

Pada pemilu 2019, KPU mengubah metode penghitungan suara menggunakan Sainte Lague murni. Namun, sistem pemilihannya tetap menggunakan prinsip proporsional terbuka.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com