Samin Tan
Sebelum anak Aa Umbara, majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan juga vonis bebas kepada Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (PT BLEM) Samin Tan.
Samin merupakan terdakwa kasus suap dan gratifikasi kepengurusan terminasi kontrak perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Baca juga: KPK Resmi Ajukan Kasasi atas Putusan Bebas Samin Tan
Majelis menilai Samin Tan tidak terbukti melakukan dakwaan alternatif pertama dan kedua yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK.
“Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum,” kata Ketua Mejlis Hakim Panji Surono pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/8/2021).
“Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat, dan martabanya,” ucap hakim Panji.
Dalam perkara ini, jaksa menuntut Samin dipenjara 3 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa menilai Samin terbukti memberi suap sejumlah Rp 5 miliar pada anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019 Fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih.
Jaksa menduga pemberian itu dimaksudkan agar PKP2B milik PT AKT yang dimiliki Samin kembali ditinjau oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM).
Sementara itu, majelis hakim beralasan bahwa perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B,” kata hakim Panji.
Baca juga: Ironi Bersejarah, Samin Tan Bebas dan Penyidik yang Menangkap Dibebastugaskan
Dalam pandangan majelis hakim, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan merupakan delik suap tetapi delik gratifikasi. Dengan demikian, tidak mungkin pemberi gratifikasi diancam pidana.
“Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka diakitkan dengan Pasal 1 Ayat (1) KUHAP, menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada,” papar hakim Panji.
“Maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan keapdanya tidak akan dimintakan pertanggungjawaban,” kata hakim.
Sebaliknya, dalam UU tersebut pihak yang dapat dikenai pidana justru penerima gratifikasi, ketika si penerima tidak melaporkan penerimaan gratifikasi itu pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari.