Evi meminta supaya DKPP membatalkan putusan tersebut.
"Saya meminta kepada DKPP Republik Indonesia untuk membatalkan putusan DKPP Nomor 317-PKEDKPP/2019," tulis Evi dalam surat yang ia serahkan ke DKPP, Senin.
Baca juga: KPU Tunjuk Hasyim Asyari Jadi Pengganti Sementara Evi Novida
Dalam suratnya, Evi menjelaskan sejumlah poin yang mendasari dirinya keberatan terhadap putusan DKPP.
Pertama, dalam poin kesimpulan putusan DKPP disebutkan bahwa putusan diambil setelah melakukan penilaian atas fakta persidangan yang diperoleh dari keterangan pengadu dan jawaban teradu.
Evi menilai DKPP tak pernah memeriksa keterangan pengadu. Sebab, dalam persidangan yang digelar 13 November 2019, pengadu yang dalam hal ini calon legislatif Gerindra bernama Hendri Makaluasc justru mencabut laporannya.
Kemudian, pada persidangan yang digelar 17 Januari 2020, Hendri maupun pengacaranya tidak menghadiri sidang.
"Sehingga kesimpulan Majelis DKPP yang dijadikan dasar putusan dalam perkara 317-PKE-DKPP/2019 tidak beralasan hukum," ujar Evi.
Evi juga mempersoalkan dalih DKPP yang mengaku memiliki kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran kode etik meskipun laporan telah dicabut pengadu.
Baca juga: Komisi II Akan Panggil DKPP, KPU, dan Bawaslu Terkait Pemecatan Evi Novida
Menurut Evi, sikap yang diambil DKPP itu tidak konsisten. Pada awal Desember 2017 lalu, DKPP pernah memberhentikan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik karena pengadu telah mencabut laporannya.
Di poin ketiga, Evi menyoal putusan DKPP yang hanya diambil oleh empat orang majelis sidang. Padahal, untuk dapat mengambil putusan, DKPP harus menggelar rapat pleno yang sedikitnya dihadiri oleh lima orang anggotanya.
Hal itu telah diatur dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.
"Keputusan DKPP dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan kuorum. Ini mestinya dinyatakan cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," ujar Evi.
Terakhir, Evi juga menyatakan keberatan atas sikap DKPP yang menjatuhinya sanksi pemecatan karena sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu ia dianggap paling bertanggung jawab terhadap perselisihan hasil suara pemilu.
Evi menegaskan bahwa langkah yang diambil KPU bersifat kolektif kolegial. Sehingga, tidak tersedia ruang bagi koordinator divisi untuk mengambil keputusan sendiri karena keputusan diambil melalui rapat pleno seluruh komisioner.
Baca juga: DKPP: Rapat Pleno Putusan Sanksi Pemecatan Komisioner KPU Evi Novida Penuhi Kuorum
"Menurut hemat saya tuduhan ini terlalu berlebihan," kata dia.
Evi menambahkan, laporan Hendri Makaluasc maupun fakta persidangan tidak ada secara spesifik membahas keterlibatan dirinya dalam perkara perselisihan hasil pemilu ini.
Serta, tidak ada bukti perbuatan yang dilakukan, bagaimana melakukan, kapan dilakukan, di mana dilakukan, yang dapat dijadikan alasan untuk menyatakan Evi melakukan perbuatan ketidakadilan hasil pemilu
"Sehingga tidak cukup alasan hukum untuk membebankan sanksi pemberhentian secara tetap dari anggota kepada teradu," kata Evi.
Selain menyampaikan keberatan ke DKPP, Evi juga melaporkan putusan ini ke Ombudsman RI dengan tudingan maladministrasi.
3. Mengadu ke Presiden
Pada hari yang sama, Evi Novida Ginting Manik juga mengadukan perkara pemecatan dirinya sebagai komsioner KPU, ke Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Datangi DKPP, Evi Novida Protes Pemcetan Dirinya dari Komisioner KPU