JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Komite Pemantauan Legislatif (Kopel) Indonesia Anwar Razak menilai adanya kesalahan pengetikan (tipo) terhadap Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) hasil revisi adalah bukti buruknya proses legislasi di DPR.
Menurutnya, kualitas hasil proses legislasi dimulai dari kajian akademik yang dibawa ke Badan Legislasi. Nantinya, itu akan dikaji lagi sehingga benar-benar matang prosesnya.
"Persoalannya UU KPK tidak melewati proses itu, dia bypass prosedur," kata Anwar saat ditemui di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Baca juga: Masinton Sebut Tipo UU KPK Dikoreksi, Syarat Usia Pimpinan Minimal 50 Tahun
Diketahui, salah pengetikan di UU KPK yang disahkan DPR pada 17 September 2019 itu ada pada Pasal 29 huruf e yang menjelaskan perihal syarat pimpinan KPK.
Di situ tertulis syarat huruf e, berusia paling rendah 50 tahun, tapi keterangan di dalam kurung yang ditulis dengan huruf tertulis 'empat puluh' tahun.
Dari sisi kualitas legislasi, kata Anwar, juga harus mempertimbangkan apakah undang-undang yang dirancang atau direvisi merugikan pihak tertentu, apakah bertentangan dengan undang-undang lain, apakah ada pertentangan antar pasal, hingga penulisannya sekalipun.
Baca juga: Ada Typo di UU KPK, Laode Duga akibat Dibahas Tergesa-gesa dan Tertutup
Anwar juga melihat tak ada prinsip keterbukaan saat UU KPK hasil revisi itu dalam proses pembahasan.
Misalnya, draf revisi yang tidak disebarluaskan ke publik, padahal publik berhak membaca, memberikan saran dan koreksi atas produk undang-undang itu.
Kemudian, ia juga menyayangkan ketika KPK sebagai lembaga yang paling berkepentingan, tak dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK.
"Hal-hal seperti ini adalah ketertutupan, seperti bebal untuk menerima masukan masyarakat, akademisi dan termasuk masukan dari pihak terkait. Sehingga terjadilah undang-undang seperti itu, tumpang tindih, kualitasnya tidak bagus, atau sampai ada yang dirugikan," katanya.
Baca juga: Menurut Mahfud MD, Istana Punya Jalan Keluar Terkait Typo di UU KPK
Ia pun menyangkan sikap pemerintah dan DPR yang seolah-olah merasa apabila UU KPK hasil revisi tak sesuai harapan, masyarakat bisa melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Celakanya mereka mengatakan kalau ada kesalahan di kami silakan judicial review ke MK, loh Anda kan dimandatkan menyusun produk legislasi. Jangan kemudian memberi beban ke rakyat untuk berjuang mencari keadilan dari undang-undang itu. Ini sesuatu yang semena-mena menurut saya," katanya.
"Kita kan rakyat sudah memandatkan ke pemerintah dan DPR untuk menciptakan keadilan tapi kita lagi yang disuruh berjuang sendiri. Melakukan uji ke MK itu kan butuh tenaga, biaya," sambung Anwar.
Baca juga: Aturan Usia Pimpinan KPK Disebut Typo, padahal Ada Usulannya dalam DIM
Presiden Joko Widodo, kata Anwar, juga disayangkan lantaran tak bersikap tegas menolak revisi UU KPK yang prosesnya sudah diketahui bermasalah.
"Kalau proses legislasi di DPR tidak berjalan sesuai prosedur yang ada pemerintah kan harus bertahan seharusnya, tolak aja itu. Tapi itu tidak digunakan Presiden. Justru kami melihat Presiden juga pro terhadap revisi itu. Padahal dia kan punya kewenangan untuk menunda atau membatalkan," katanya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.