Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 05/06/2018, 06:42 WIB
|

JAKARTA, KOMPAS.com - Suryadharma Ali tampak bersemangat ketika melangkahkan kaki di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/6/2018). Meski terlihat lebih kurus, Menteri Agama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu optimistis dirinya bakal mendapat keadilan yang sesungguhnya.

Suryadharma kembali menguji putusan hakim terhadapnya. Bersama pengacaranya, Suryadharma mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

"Harapannya ya dapat keadilan. Orang (sebelumnya) diadili bukan diadili dengan peraturan yang benar," kata Suryadharma.

Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali bersiap menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (10/4/2015). Sebelumnya KPK telah menetapkan Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama pada tahun 2012-2013, TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali bersiap menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (10/4/2015). Sebelumnya KPK telah menetapkan Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama pada tahun 2012-2013,
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menjalani persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2015).TRIBUNNEWS / HERUDIN Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menjalani persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2015).
Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu enggan menjelaskan perihal bukti baru atau novum yang akan diajukan dalam permohonan PK.

Baca juga: Cerita Artidjo Bentak dan Usir Pengusaha yang Mau Coba Menyuapnya

 

Namun, Suryadharma memastikan ada kesalahan dalam proses peradilan terhadapnya.

"Saya enggak tahu ada kekhilafan atau apa. Tidak mungkin dong orang mengajukan tanpa alasan, lihat nanti ya, sabar," kata Suryadharma.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan Suryadharma Ali. Pengadilan Tinggi justru memperberat hukuman bagi Suryadharma.

Majelis hakim justru menambah hukuman bagi Suryadharma menjadi 10 tahun penjara.

Selain itu, Pengadilan Tinggi juga menambah hukuman berupa pencabutan hak politik Suryadharma selama lima tahun setelah pidana penjara selesai dijalani.

Baca juga: Artidjo Pensiun sebagai Hakim Agung, Koruptor Coba Peruntungan ke MA

Pada pengadilan tingkat pertama, Suryadharma divonis 6 tahun penjara.

Kurang dari dua pekan sebelumnya, ada dua narapidana kasus korupsi yang mengajukan upaya hukum PK. Mereka adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbanungrum dan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari.

Anas Urbaningrum

Anas Urbaningrum mengajukan peninjauan kembali di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/5/2018).KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN Anas Urbaningrum mengajukan peninjauan kembali di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjalani persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (18/8/2014). Anas diduga terkait korupsi dalam proyek Hambalang, yang juga melibatkan mantan Menpora Andi Mallarangeng.TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjalani persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (18/8/2014). Anas diduga terkait korupsi dalam proyek Hambalang, yang juga melibatkan mantan Menpora Andi Mallarangeng.
Sebelumnya, Mahkamah Agung memperberat hukuman terhadap Anas, setelah menolak kasasi yang diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara, harus mendekam di penjara selama 14 tahun.

Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.

Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.

Apabila uang pengganti dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, maka seluruh kekayaannya akan dilelang. Apabila masih juga belum cukup, ia terancam penjara selama empat tahun.

Anas juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.

Siti Fadilah

Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/5/2018).KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/5/2018).
Sementara itu, Siti Fadilah sebelumnya divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp 550 juta.

Menurut hakim, Siti terbukti menyalahgunakan wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) tahun 2005, pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Departemen Kesehatan.

Purnatugas Artidjo

Menariknya, permohonan PK yang diajukan ketiga narapidana kasus korupsi itu tak sampai berselang sebulan pasca Artidjo Alkostar secara resmi pensiun dari jabatan Hakim Agung pada 22 Mei 2018 lalu.

Nama Artidjo Alkostar sangat dikenal sebagai hakim "galak" dalam menjatuhkan hukuman. Terutama bagi para koruptor.

Vonis berat menanti terpidana koruptor jika kasasinya atau PK ditangani Artidjo. Ketukan "palu" Artidjo begitu menakutkan bagi para napi koruptor yang mencoba mendapat keringanan hukuman.

Baca juga: Artidjo: Saya Paling Jengkel Koruptor Ditangkap Masih Cengengesan...

Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum.

Meski demikian, Anas dan Siti Fadilah sama-sama membantah pengajuan PK mereka karena hakim Artidjo telah memasuki masa pensiun.

"Oh tidak. Tidak ada hubungannya, karena perkara saya itu kasasinya dipegang oleh Pak Artidjo," ujar Anas saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.

Menurut Anas, sesuai ketentuan, hakim yang telah memegang perkara kasasi, tidak akan diberikan tugas untuk menangani pemohon yang sama pada tingkat PK. Dengan demikian, menurut Anas, kapan pun PK diajukan, Artidjo tidak akan lagi menangani perkara yang ia hadapi.

Baca juga: Artidjo Alkostar, 18 Tahun, 19.000 Perkara, dan Urus Kambing...

Pengacara Siti Fadilah, Achmad Kholidin mengatakan, pengajuan PK tersebut murni karena ada bukti baru atau novum yang ditemukan pada Januari 2018 lalu. Kholidin memastikan PK tidak berkaitan dengan pensiunnya Artidjo.

"Karena novum yang kami ajukan baru di dapat pada akhir Januari 2018. Setelah itu, kami kaji dan teliti, sehingga kami baru ajukan sekarang, memang bersamaan dengan pensiunnya hakim Artidjo," kata Kholidin kepada Kompas.com, Senin.

Koruptor tak tahu malu


Saat ditemui beberapa waktu lalu, Artidjo Alkostar mengungkapan, salah satu hal yang paling membuat dia jengkel adalah saat melihat reaksi para koruptor setelah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Karena koruptor Indonesia itu kalau ditangkap itu saya paling jengkel, itu masih cengengesan di TV. Itu, kan, menghina rakyat Indonesia," ujar Artidjo.

Artidjo menilai, para koruptor sudah tidak punya budaya malu. Oleh karena itu, ia yakin kalau masih diberikan jalan untuk maju dalam pemilu, para mantan terpidana kasus korupsi akan tertawa senang.

Artidjo juga menilai, salah satu upaya untuk membuat koruptor jera yakni dengan dimiskinkan dan diperberat hukumannya.

Bagi Artidjo, pencabutan hak politik pejabat negara yang melalukan korupsi sudah tepat. Hal itu merupakan konsekuensi yuridis karena mereka telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik

Menanggapi munculnya pengajuan PK pasca dirinya pensiun, Artidjo berpesan kepada para Hakim Agung untuk tetap menjaga marwah bangsa Indonesia sebagai negara hukum.

Artidjo meyakini bahwa penggantinya akan lebih baik dari dirinya dalam urusan mengadili para koruptor.

"Berikan kesempatan kepada para hakim agung untuk mengadili. Saya harapkan itu lebih baik," ujar pria 70 tahun kelahiran Situbondo, Jawa Timur itu.

Kompas TV Mantan hakim Agung Artidjo Alkostar mengomentari polemik pencalonan mantan koruptor dalam pemilu legislatif.


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Tanggapan Mahfud MD soal PPATK akan Dilaporkan ke Bareskrim | Para Ketum Parpol Hadir di Bukber Nasdem

[POPULER NASIONAL] Tanggapan Mahfud MD soal PPATK akan Dilaporkan ke Bareskrim | Para Ketum Parpol Hadir di Bukber Nasdem

Nasional
Lewat Pantun, PKS Beri Sinyal Ajak Partai Golkar Gabung Koalisi Perubahan

Lewat Pantun, PKS Beri Sinyal Ajak Partai Golkar Gabung Koalisi Perubahan

Nasional
Buka Puasa Bareng Surya Paloh, Airlangga Hartarto: Kami Mengingat Masa-masa Indah

Buka Puasa Bareng Surya Paloh, Airlangga Hartarto: Kami Mengingat Masa-masa Indah

Nasional
Tanggal 28 Maret Hari Memperingati Apa?

Tanggal 28 Maret Hari Memperingati Apa?

Nasional
Hadiri Buka Bersama Nasdem, PPP: Tak Ada Pembicaraan Koalisi, Baru Senyum-senyum

Hadiri Buka Bersama Nasdem, PPP: Tak Ada Pembicaraan Koalisi, Baru Senyum-senyum

Nasional
Dorong Koalisi Lain Segera Umumkan Capres-Cawapresnya, Nasdem: Biar Masyarakat Tahu

Dorong Koalisi Lain Segera Umumkan Capres-Cawapresnya, Nasdem: Biar Masyarakat Tahu

Nasional
Soal Peluang Terbentuknya Koalisi Besar, Ketum Golkar: Kita Tunggu Tanggal Mainnya

Soal Peluang Terbentuknya Koalisi Besar, Ketum Golkar: Kita Tunggu Tanggal Mainnya

Nasional
Nasdem Sebut Target Penentuan Cawapres Anies Juli 2023

Nasdem Sebut Target Penentuan Cawapres Anies Juli 2023

Nasional
PKS Terbuka Jika Ada Parpol Mau Gabung Koalisi, Sekjen: 'Welcome', Kapan Saja Kita Siap

PKS Terbuka Jika Ada Parpol Mau Gabung Koalisi, Sekjen: "Welcome", Kapan Saja Kita Siap

Nasional
Mahfud Jelaskan Potensi Kacaunya Kondisi Negara Jika Pemilu Ditunda

Mahfud Jelaskan Potensi Kacaunya Kondisi Negara Jika Pemilu Ditunda

Nasional
Jusuf Kalla Akui Setor Nama Cawapres untuk Anies Baswedan

Jusuf Kalla Akui Setor Nama Cawapres untuk Anies Baswedan

Nasional
Serahkan Penentuan Cawapres ke Anies, AHY: Beliau Paling Tahu, dan Menentukan Akhirnya

Serahkan Penentuan Cawapres ke Anies, AHY: Beliau Paling Tahu, dan Menentukan Akhirnya

Nasional
Mahfud: Jangan Main-main dengan Jadwal Pemilu, Mengundang Chaos Kalau Memaksakan Ditunda

Mahfud: Jangan Main-main dengan Jadwal Pemilu, Mengundang Chaos Kalau Memaksakan Ditunda

Nasional
Tunjukan Kedekatan dengan AHY, Anies: Insya Allah Kita Selalu Dekat di Hati

Tunjukan Kedekatan dengan AHY, Anies: Insya Allah Kita Selalu Dekat di Hati

Nasional
Ada Penolakan Timnas U20 Israel, BNPT: Yang Penting Tidak Memilih Jalan Kekerasan

Ada Penolakan Timnas U20 Israel, BNPT: Yang Penting Tidak Memilih Jalan Kekerasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke