Vonis itu lebih berat dari hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menghukum Lukas Enembe dengan pidana delapan tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan ditambah uang pengganti Rp 19,6 miliar subsider dua tahun penjara.
Baca juga: Firli Bahuri Nyatakan Mundur, Eks Penyidik KPK: Sikap Pengecut
Dalam putusan ini, hak politik Lukas Enembe turut dicabut selama lima tahun. Tetapi, KPK belum bisa mengeksekusi Lukas Enembe lantaran putusan pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht.
Lukas Enembe dinyatakan meninggal dunia saat menjalani perawatan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta pada Selasa, 26 Desember 2023.
Tak hanya perkara Lukas Enembe, KPK cukup menjadi perhatian publik ketika melakukan pengembangan kasus suap pengurusan perkara di MA pada pertengahan tahun 2023. Dalam perkara ini, KPK menjerat Sekretaris MA Hasbi Hasan dan seorang pihak swasta bernama Dadan Tri Yudianto.
Kasus ini merupakan pengembangan rangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada akhir tahun 2022 yang juga menjerat dua orang Hakim Agung, Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmi Berhentikan Firli Bahuri dari Ketua KPK
Di sisi lain, pengungkapan kasus jual beli perkara di MA ini bagai "gempa bumi" di dunia peradilan. KPK menciptakan sejarah dengan memproses hukum hakim dalam pengurusan perkara di lembaga tertinggi yudikatif itu.
Kasus selanjutnya yang menjadi sorotan publik adalah OTT pejabat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI di Cilangkap, Jakarta Timur dan Jatisampurna, Bekasi pada Selasa, 25 Juli 2023.
Usai melakukan penangkapan, KPK menetapkan lima orang tersangka terkait kasus suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun anggaran 2021-2023.
Kelimanya adalah Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koorsmin Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Kemudian, Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Henri melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp 88,3 miliar. Pengungkapan kasus tersebut menuai keberatan pihak TNI.
Baca juga: KPK Diterpa Skandal Firli Bahuri, Wapres Minta Pembenahan Integritas
Terkait perkara Basarnas ini, KPK dituding tidak melakukan koordinasi dalam menetapkan dua prajurit aktif sebagai tersangka.
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko mengatakan, kewenangan menetapkan tersangka bagi prajurit TNI aktif terkait dugaan pelanggaran hukum berada di ranah penyidik militer.
Polemik ini memuncak ketika sejumlah pejabat tinggi dari Puspom TNI menyambangi Kantor KPK untuk melayangkan protes.
Seusai pertemuan, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permohonan maaf.
Dalam konferensi pers bersama pejabat TNI, Pimpinan KPK justru menyalahkan tim penyelidik dan penyidik yang dinilai telah keliru dan khilaf lantaran telah menangkap dua prajurit aktif.
Baca juga: Sanksi Berat untuk Firli Bahuri, Wajib Mundur dari KPK
Drama kasus Basarnas ini berlanjut hingga Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Asep Guntur Rahayu mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, pengunduran diri ini ditolak oleh pimpinan KPK.
Tak berhenti sampai di situ, penanganan kasus dugaan korupsi di lembaga antirasuah ini terus menimbulkan polemik. Tepatnya, ketika KPK menjerat Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan, penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
KPK terus menjadi perbincangan publik setelah menetapkan status hukum eks Mentan itu.