Masalahnya, karena UU Peradilan Militer ini, beberapa pelaku korupsi dari unsur TNI yang kasusnya diusut KPK diproses hukum oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Kasus ini beberapa kali terjadi dalam perkara korupsi yang ditangani KPK, seperti kasus pengadaan helikopter AW-101 dan kasus suap Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Akuntabilitas dan transparansinya dipertanyakan. Pada kasus Bakamla, Laksma Bambang Udoyo selaku prajurit yang terlibat korupsi hanya divonis 4,5 tahun penjara.
Pada kasus pengadaan helikopter, pengusutan atas keterlibatan para prajurit aktif malah dihentikan Puspom TNI karena diklaim tak cukup alat bukti.
Terkini, KPK sempat mengumumkan Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka suap pengadaan alat deteksi korban reruntuhan hingga Rp 88,3 miliar yang diduga dilakukan pada 2021-2023.
Puspom TNI akhirnya menetapkan keduanya menjadi tersangka, meski sempat mempertanyakan penetapan tersangka ini. Kedua tersangka ini pun ditahan di instalasi tahanan militer milik Pusat Polisi Militer Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Baca juga: Mahfud Setuju Revisi UU Peradilan Militer Dibahas
Bivitri menyampaikan, kerangka hukum yang ada sudah jelas mengatur bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana nonmiliter tidak seharusnya dibawa ke peradilan militer.
Artinya, yang menjadi fokus adalah tindak pidananya, bukan subyeknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.