JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berpandangan, revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer memang perlu dibahas.
Hal ini ia sampaikan merespons desakan sejumlah pihak untuk merevisi UU Peradilan Militer buntut penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya sependapat bahwa itu perlu segera dibahas," kata Mahfud di Kediaman Resmi Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Baca juga: Kabasarnas Tersangka Dugaan Suap, Panglima TNI Janji Tak Akan Lindungi yang Bersalah
Mahfud memastikan bahwa pemerintah mencatat aspirasi tersebut untuk dipertimbangkan.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, revisi UU Peradilan Militer sesungguhnya sudah masuk dalam program legislasi nasional jangka panjang.
"Nanti-lah kita bisa bicarakan kapan prioritas dimasukkan," ujar Mahfud.
Kendati demikian, Mahfud menegaskan, saat ini penanganan kasus korupsi yang melibatkan Henri memang harus dikerjakan oleh Pusat Polisi Militer TNI dan akan diadili lewat pengadilan militer.
"Kalau sekarang yang paling tepat di militer, kalau sekarang ya, karena Undang-Undang Nomor 31 itu masih berlaku sebelum ada undang-undang yang baru," kata dia.
Baca juga: UU Peradilan Militer Belum Direvisi, MoU KPK-Puspom TNI Diharap Jadi Aturan Main
Ia pun yakin, pihak TNI akan tetap obyektif dalam menangani kasus ini meski tersangkanya menyandang pangkat bintang tiga.
"Saya percaya, saya percaya, nyatanya kita koordinasi sehari langsung tersangka," kata Mahfud.
UU Peradilan Militer selama ini selalu menjadi pembenaran agar prajurit aktif yang melakukan tindak pidana, walaupun dalam kapasitasnya sebagai jabatan sipil, hanya dapat dibawa ke peradilan militer dan kebal peradilan umum.
UU Peradilan Militer mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer.
"UU Peradilan Militer harus direvisi. Ikut UU TNI saja. Kalau tindak pidananya umum, ya jangan ke peradilan militer," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti saat ditemui Kompas.com di bilangan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Bivitri menyampaikan, keberadaan peradilan militer yang bisa menjatuhkan sanksi atas prajurit yang melakukan tindak pidana umum sebetulnya merupakan anomali dan tak dikenal di dunia.
"Itu diterbitkan 1997. Dari tahunnya kita bisa membaca, tahun segitu undang-undang Itu dilahirkan untuk melindungi jenderal-jenderal (yang diduga terlibat tindak pidana)," kata dia.