Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda, Ini 7 Alasannya

Kompas.com - 13/06/2023, 20:22 WIB
Fika Nurul Ulya,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan yang berisi 43 lembaga meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Perwakilan koalisi yang juga peneliti The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi menyampaikan, RUU belum berpihak pada kepentingan rakyat dan belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.

"Menyatakan sikap menunda pengesahan RUU Kesehatan. Dan kalau itu tidak dijalankan, maka langkah selanjutnya adalah justru kita harus menolak adanya RUU Kesehatan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat," kata Sri Palupi saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023).

Setidaknya, ada tujuh alasan yang membuat koalisi berisi 43 lembaga termasuk Yayasan LBH Indonesia ini meminta penundaan RUU.

 Baca juga: RUU Kesehatan Dikhawatirkan Tak Dapat Perhatian Penuh karena Kesibukan Pemilu 2024

Pertama, pembahasan RUU belum mengupayakan partisipasi bermakna (meaningful participation). Hal ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVII2020.

Dalam putusan tersebut, partisipasi publik bermakna tak sebatas pada pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Namun, sejauh mana pemerintah dapat mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).

Kedua, urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dinilai masih lemah. Menurut dia, DIM RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi perlunya omnibus law dengan meleburkan 10 UU.

"Tidak terlihat masalah dasar yang dijadikan basis perlunya membuat RUU omnibus law. Karenanya, gagasan transformasi kesehatan yang digulirkan Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan perlu dikaji ulang secara komprehensif," tutur dia.

 Baca juga: Selesaikan Kemelut RUU Kesehatan

Ketiga, menurutnya, RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi atau komersialisasi layanan kesehatan.

Komersialisasi ini, kata dia, berpotensi memusatkan pasar kesehatan terutama di wilayah perkotaan, namun juga berpotensi memperluas kesenjangan akses layanan kesehatan di wilayah 3T di Indonesia.

"Bahkan sebelum disahkan, pemerintah (Kemenkes) sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan The Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) untuk agenda transformasi pelayanan kesehatan yang melibatkan sektor swasta pada 8 Juni lalu," tuturnya.

Alasan keempat, RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan.

Padahal, Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Sedangkan dalam draft RUU versi pemerintah (pasal 420 (2) dan (3), menghapus alokasi anggaran minimal 10 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD yang ada dalam draft RUU versi DPR. Hal ini kata dia, berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.

Baca juga: Praktisi Kesehatan Ramai-ramai Tolak RUU Kesehatan, Kemenkes: Penolakan Hambat Kebutuhan Perlindungan Hukum yang Jelas

Penghapusan ketentuan alokasi anggaran minimal tersebut bertentangan dengan tujuan dibuatnya RUU Kesehatan, yaitu memperluas dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan hingga ke desa-desa, termasuk ke daerah 3T.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Nasional
DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

Nasional
Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Nasional
DKPP Gelar Sidang Perdana Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Rabu Besok

DKPP Gelar Sidang Perdana Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Rabu Besok

Nasional
4 Wilayah di Bali Jadi Kabupaten Lengkap, Menteri ATR/BPN AHY: Semoga dapat Perkuat Semangat Investasi

4 Wilayah di Bali Jadi Kabupaten Lengkap, Menteri ATR/BPN AHY: Semoga dapat Perkuat Semangat Investasi

Nasional
Kemenkes Ungkap Belum Semua Rumah Sakit Siap Terapkan KRIS

Kemenkes Ungkap Belum Semua Rumah Sakit Siap Terapkan KRIS

Nasional
Ahli Sebut Tol MBZ Masih Sesuai Standar, tapi Bikin Pengendara Tak Nyaman

Ahli Sebut Tol MBZ Masih Sesuai Standar, tapi Bikin Pengendara Tak Nyaman

Nasional
Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Nasional
Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Nasional
Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Nasional
Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Nasional
Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Nasional
Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

Nasional
Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com