JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan belum mampu menjawab masalah korupsi dan fraud di bidang pelayanan kesehatan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni mengatakan, pihaknya belum melihat adanya terobosan-terobosan baru dalam RUU Omnibus Law Kesehatan dalam penanganan kasus korupsi.
"RUU kesehatan omnibus law belum ada terobosan yang bisa menjawab kasus potensi peluang-peluang korupsi, yang pada akhirnya berdampak pada pelayanan kesehatan pada masyarakat," kata Dewi saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023).
Dewi mengungkapkan, pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi penting dilakukan karena angkanya terus naik.
Baca juga: Pengesahan RUU Kesehatan Diminta Ditunda karena Tak Penuhi Partisipasi Bermakna
Menurut Dewi, sepanjang tahun 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kerugian negara sekitar Rp 73,9 miliar.
Kasus yang ditindak penegak hukum umumnya berkaitan dengan pembangunan, khususnya pembangunan puskesmas dan pengadaan alat kesehatan.
"Itu baru tahun 2022. Jadi bisa saja 27 kasus di tahun 2022 hanya fenomena gunung es, hanya sedikit yang tampak di permukaan. Tapi kasusnya itu lebih banyak," ujarnya.
Ia meyakini korupsi dan fraud kesehatan terjadi lebih masif dan berdampak signifikan pada belum optimalnya layanan kesehatan dan mahalnya akses publik terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu.
Termasuk, di dalamnya mengenai praktik kolusi dan gratifikasi peresepan obat, serta registrasi dan perizinan praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Baca juga: Selesaikan Kemelut RUU Kesehatan
Sayangnya, Dewi mengatakan, RUU yang disebut menjadi pembaharu layanan kesehatan di masa depan tidak cukup menangkap dan memitigasi persoalan fraud sektor kesehatan.
Di antaranya, upaya peningkatan transparansi harga obat di seluruh fasilitas kesehatan, upaya pencegahan dan penanganan praktik kolusi, serta gratifikasi yang melibatkan perusahaan farmasi.
"Untuk dokter PNS (Pegawai Negeri Sipil), pencegahan gratifikasi diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU Nomor 5 tahun 2014. Semestinya, RUU mengisi kekosongan hukum terkait dengan gratifikasi terhadap dokter swasta," katanya.
Oleh karena itu, ICW dan 42 organisasi lainnya yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan RUU Kesehatan.
Baca juga: RUU Kesehatan Jadi Langkah komprehensif Pemerintah Mereformasi Sektor Kesehatan
Sebelumnya, penolakan juga disuarakan oleh ribuan orang dari lima organisasi profesi yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta pada 5 Juni 2023.
Lima organisasi tersebut, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Mereka meminta agar pembahasan RUU lebih transparan dan mendengarkan aspirasi kalangan profesi.
Baca juga: Kemenkes: Tidak Benar RUU Kesehatan Menghilangkan Perlindungan untuk Nakes
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.